Ilmu adalah berkah bagi umat manusia, yang telah melahirkan banyak manfaat bagi kehidupan. Sebab ilmu berasal dari Sang Pencipta yang menciptakan manusia dan mengajarkannya demi kelangsungan hidup mereka (al-Alaq: 1-5). Ilmu menjadi nikmat yang patut untuk disyukuri. “Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara (Qs. Al-Rahman: 3-4). “Ayat ini menunjukkan betapa berartinya nikmat yang Allah berikan berupa ilmu,” kata Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin pada bab ilmu.

Melalui perantara para Nabi dan Rasul—yang mendapat pengajaran langsung dari Allah Swt—manusia pun memelajari, mengembangkan, dan menerapkannya sehingga memberikan manfaat bagi hidup mereka. Bersyukur, berkat ilmu itu manusia tidak berkubang dalam kegelapan, kebodohan, dan kesengsaraan. Manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, manfaat dan kerusakan, kebenaran dan kebatilan. Dengan ilmu manusia mengenal adab dan menjadikan hidupnya dalam kebaikan.

Karenanya, ilmu bukan buah terlarang yang membuat manusia terkutuk dan diusir dari surga (seperti dalam mitologi Kristen). Bukan pula barang curian dari para dewa, yang kemudian membuatnya berani menentang ketuhanan (seperti dalam mitologi Yunani). Justru, ilmu mendekatkan manusia kepada Tuhan dan mengangkat derajat mereka (Qs. Ali Imran: 18; al-Mujadilah: 11). Ilmu menjadi jalan untuk mengenal-Nya, melalui perenungan terhadap ciptaan-Nya sebagai manifestasi Kehendak dan Kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta (Qs. Al-Fathir:28). Lebih dari itu, ilmu yang diperoleh manusia melalui pengamatan dan perenungan atas semua ciptaan-Nya dapat dirumuskan secara rasional dan sistematis sehingga menjadi pengetahuan ilmiah. Manfaatnya, tidak diragukan lagi.

Semua itu nikmat dari Allah yang patut untuk disyukuri. Bukannya malah menjadi arogan, seperti paham saintisme, materialisme, dan ateisme. Mereka bukan hanya mengabaikan Tuhan, tapi memberi dampak yang begitu jauh dalam memanfaatkan sains dan teknologi untuk mengeksploitasi alam secara tak terkendali, dan membuat kehidupan di muka bumi ini makin terancam kepunahan. Manusia menjadi arogan dan merasa memegang kendali tanpa peduli moral dan tanggung jawab terhadap masa depan umat manusia sendiri dan planet bumi. Inilah kemalangan terbesar bagi dunia modern yang materialis dan mengesampingkan moral keagamaan; hanya berorientasi pada kehidupan dunia dan melupakan dasar spiritual mereka yang merupakan pusat kehidupan, sebagaimana diingatkan Hossein Nasr dalam The Plight of Modern Man.

Ilmu adalah berkah dan menjadi jalan untuk mensyukuri nikmat Allah agar kehidupan manusia mendatangkan manfaat di muka bumi, bukan menimbulkan kerusakan. Ilmu bukan hanya memberikan wawasan intelektual semata, tetapi juga memberikan pencerahan spiritual. Jika tidak, itu bukanlah ilmu yang sejati, bukan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang sejati bukan hanya mendorong kemajuan peradaban tetapi juga mengangkat martabat moral dan spiritual manusia ke tingkat yang lebih tinggi.

Dalam pengertian inilah Islam adalah agama ilmu, menghargai ilmu pada kedudukan yang tinggi-tingginya—ilmu apapun yang mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. “Secara esensial, Islam adalah agama pengetahuan. Islam memandang pengetahuan sebagai cara yang utama bagi penyelamatan jiwa dan pencapaian serta kesejahteraan manusia dalam kehidupan kini dan nanti,” tulis Osman Bakar dalam Tauhid dan Sains (2008).

Inilah ilmu yang membawa berkah. Ilmu yang membawa kebaikan di dunia maupun akhirat. Umat Muslim didorong untuk berlomba-lomba meraih keutamaanya. Muadz ibn Jabal, seorang sahabat Nabi Saw, pernah menyebutkan keutamaan ilmu. Ia mengatakan:

“Belajarlah ilmu, sesungguhnya mempelajari ilmu adalah suatu kepatuhan, mencarinya adalah ibadah, mengingatnya adalah tasbih, membahasnya adalah jihad, mengajarkannya pada yang tidak tahu adalah sedekah, mendiskusikan dengan ahlinya adalah kekerabatan.”

Dari perkataan Mu’adz ibn Jabal, terdapat enam keutamaan ilmu yang begitu istimewa. Pertama, keutamaan spiritual, yaitu tumbuhnya khasyah, “rasa takut kepada Allah”. Hal ini memang disebutkan dalam ayat al-Qur’an bahwa sesungguhnya yang takut kepada Allah adalah ulama (Qs.al-Fathir: 28). Karena esensi dari ilmu adalah dzikir kepada Allah; memikirkan dan mengamati objek-objek ciptaan-Nya. Dengan memahami ciptaan Allah seorang akan semakin mengenal-Nya (ma’rifatullah). Maka ilmu yang benar adalah ilmu yang mengarah kepada zikrullah dan berbuah ma’rifatullah. Disiplin ilmu apapun—agama, filsafat, sains—selama mengadung zikrullah dan mengantarkan pada ma’rifatullah adalah ilmu yang bermanfaat.

Semua objek ilmu adalah ciptaan Allah. Ilmu agama misalnya, objeknya adalah manusia dalam hubungannya dengan Allah, sebagai hamba-Nya yang mematuhi ketentuan wahyu dan sunnah nabi. Kemudian objek sains adalah juga ciptaan Allah yaitu alam semesta. Demikian juga ilmu sosial, objeknya adalah manusia dan masyarakat juga ciptaan Allah. Semua disiplin ilmu pada hakikatnya adalah ciptaan Allah yang dengan merenungkan dan mempelajarinya, seharusnya mengarah kepada zikrullah dan ma’rifatullah.

Kedua, keutamaan ibadah. Hal ini jelas karena mencari ilmu diperintahkan oleh syariat dan melaksanakannya adalah ibadah. Seseorang yang mencari ilmu akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Seseorang yang sibuk dalam menuntut ilmu pada hakikatnya sedang melaksanakan ibadah selama itu diniatkan karena Allah. Belajar, membaca, menulis, berdiskusi, melakukan penelitian, dan berbagai aktivitas ilmu lainnya akan mendapatkan keutamaan, pahala dunia dan akhirat. Menurut Imam Syafi’i, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi, mencari ilmu lebih utama daripada melakukan ibadah salat sunah. Selain salat lima waktu, tidak ada kewajiban lain yang lebih utama untuk dilakukan kecuali menuntut ilmu.

Ketiga, keutamaan tasbih. Orang yang menuntut ilmu, mempelajari, mengkaji dan mendiskusikannya pada hakikatnya sedang melakukan tasbih, memuji, dan menyucikan Allah. Hal ini karena seluruh objek ilmu adalah ciptaan Allah dan dengan mempelajarinya sama dengan memuji Allah dan bertasbih kepada-Nya. Bagaimana tidak. orang yang mempelajari hukum alam, mempelajari sunatullah, sesungguhnya ia sedang mengenal sifat-sifat Allah di alam semesta, mengenali ilmu dan kebijaksanaan-Nya, memahami segala ketentuannya, bahwa dibalik semua itu adalah kehendak Allah atas segala makhluk-Nya. Ketika seseorang mempelajari ilmu, baik agama, filsafat, sains, dan ilmu sosial, dia sedang bertasbih kepada Allah, memuji-Nya, dan menyucikan-Nya.

Keempat, keutamaan jihad. Menuntut ilmu membutuhkan perjuangan. Ini jelas sekali karena menuntut ilmu membutuhkan usaha dan pengorbanan, baik tenaga, pikiran, biaya, dan waktu. Menuntut ilmu adalah sebuah proses yang dilakukan dengan susah payah dan kerja keras. Maka wajar jika orang yang menuntut ilmu mendapatkan keutamaan jihad sesuai dengan tingkat usaha, pengorbanan, dan susah payahnya. Banyak sekali kisah perjalanan para ulama dalam mencari ilmu yang dilalui dengan penuh perjuangan dan menghadapi banyak penderitaan, namun mereka tetap teguh dan penuh semangat. Mereka melakukannya karena berharap ridha Allah dan meraih keutamaan-keutamaan ilmu.

Kelima, keutamaan sedekah. Mengajarkan ilmu berarti membagikan sesuatu yang sangat bermanfaat pada orang lain. Ini berarti sedekah. Karena hakikat sedekah adalah memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada sesama manusia dalam bentuk apa pun yang dapat menopang kehidupan mereka, baik bersifat materi maupun rohani. Ilmu adalah sesuatu yang sangat bermanfaat bagi manusia dan menopang kehidupan. Maka berbagi ilmu berarti sedekah yang manfaatnya sangat besar bagi kehidupan; tidak kalah penting dengan sedekah dalam bentuk materi. Sedekah dalam bentuk ilmu akan terus berkembang sebagai wujud ilmu yang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan hadis nabi bahwa, jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah,  ilmu yang bermanfaat, atau doa anak yang saleh (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa ilmu yang bermanfaat memberikan kebaikan yang berkesinambungan, bahkan hingga seseorang wafat.

Keenam, kekerabatan. Mengkaji, mendiskusikan, dan memperdalam ilmu akan menumbuhkan keakraban satu sama lain. Tumbuh persaudaraan yang hangat dalam majelis ilmu yang terjalin melalui rasa kebersamaan, saling menyayangi, peduli, dan saling memperhatikan. Ada manfaat silaturahmi dari menuntut ilmu; mempelajari, mendiskusikan dan membahasnya bersama-sama akan tumbuh kekerabatan dan persaudaraan yang dilandasi oleh kasih sayang, baik antara guru dan murid, maupun sesama murid.

Itulah enam keutamaan ilmu yang demikian luar biasa, yang selayaknya manusia saling berebut, saling berlomba, saling berpacu dalam menuntut ilmu. Hal ini sebagaimana pernah ditunjukkan dalam sejarah peradaban Islam ketika ilmu menjadi mahkota kebesaran yang dibanggakan dan dimuliakan. Lalu mengapa sekarang umat Muslim tidak berlomba berebut berkah dari keutamaan ilmu sebagaimana yang disebutkan oleh Muadz ibn Jabal tadi. Padahal, dengan niat yang benar, ikhlas karena Allah, enam keutamaan ilmu akan didapat, dan umat Muslim akan menjadi bangsa besar.