Sejak dini, kita diajarkan oleh guru-guru kita untuk menuntut ilmu tanpa henti. Dalam berbagai mahfuzat yang mudah dihafal dan simpel, kita sering mendengar, “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat.” Belajar berarti tidak boleh berhenti. Selain itu, ada ungkapan yang menyebutkan, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.” Sejak dahulu, agama kita mengajarkan untuk terus belajar tanpa mengenal batasan jarak dan waktu.
Sejarah mencatat banyak ulama yang menuntut ilmu di tempat-tempat jauh seperti Bukhara, Baghdad, dan Haramain. Contohnya, Syaikh Nawawi Tanara yang menjadi ulama di Mekah. Ini menunjukkan bahwa belajar tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Kita harus lebih terbuka dalam menuntut ilmu. Namun, penting diingat bahwa para ulama tersebut menuntut ilmu dengan jiwa yang matang, tanpa memikirkan prestise belajar di luar negeri. Mereka mencari guru terbaik dengan niat tulus menuntut ilmu, bukan untuk memperoleh pujian.
Dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim kita diajarkan agar ikhlas dalam menuntut ilmu:
وَعَلَيْكَ يَا طَالِبَ الْعِلْمِ أَنْ تَكُونَ نِيَّتُكَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ لِوَجْهِ اللَّهِ تَعَالَى، وَلَا تَكُونَ قَصْدَكَ بِهِ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْمَالِ وَالْجَاهِ.
“Wahai pencari ilmu, hendaklah niatmu dalam menuntut ilmu semata-mata karena Allah Ta’ala, dan janganlah tujuanmu untuk dunia serta harta dan kedudukan yang ada di dalamnya.”
Ali ibn Abi Thalib pernah berkata, “Siapa yang pernah mengajarkan aku satu huruf saja, maka aku siap menjadi abdinya.” Ini menunjukkan penghormatan luar biasa terhadap guru, yang dianggap sebagai sumber ilmu. Ilmu yang berkah datang dari niat yang benar dan penghormatan terhadap guru. Jika niatnya bukan untuk mencari berkah ilmu dan guru, maka tidak akan mendapat apa-apa, meskipun belajar di luar negeri.
Dalam Kitab Ta’lim al-Muta’allim disebutkan:
وَيَنْبَغِي لِلتِّلْمِيذِ أَنْ يَتَأَدَّبَ مَعَ أُسْتَاذِهِ وَيُعَظِّمَهُ وَيَكُونَ مُتَوَاضِعًا لَهُ وَيُحْسِنَ الْخِدْمَةَ إِلَيْهِ وَيَحْتَرِمَهُ كَاحْتِرَامِهِ لِوَالِدِهِ
“Dan sepatutnya bagi seorang murid untuk beradab dengan gurunya, mengagungkannya, bersikap rendah hati kepadanya, melayaninya dengan baik, dan menghormatinya sebagaimana dia menghormati orang tuanya.”
Santri di Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 harus memiliki niat mencari berkah ilmu dan guru, bukan hanya gaya-gayaan kuliah di Mesir, Tunisia, Saudi Arabia, atau lainnya. Etos keilmuan berarti lurusnya niat dalam menuntut ilmu, dari lahir sampai mati, sesuai perintah agama. Ulama dan tokoh bangsa seperti Mohammad Hatta dan Syaikh Nawawi al-Bantani menuntut ilmu dengan niat yang benar, bukan untuk menjadi tokoh besar, melainkan untuk ilmu itu sendiri. Akhirnya, prestasi dan pengakuan datang sebagai hasil dari berkah ilmu tersebut.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas berdasarkan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Contoh ulama atau ilmuwan yang belajar di Mekah, Madinah, atau Belanda menunjukkan bahwa dengan niat yang benar, mereka memberikan kontribusi besar bagi agama dan bangsa. Mereka kembali dengan ilmu dan memberikan manfaat besar, bukan hanya membawa gelar atau ijazah.
Kunci keberhasilan dalam menuntut ilmu adalah niat yang benar dan adab yang baik. Imam Malik mengajarkan, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu.” Orang yang baik adabnya pasti memiliki niat yang benar. Jika niatnya belum benar, maka introspeksi diri diperlukan, karena mungkin adab atau akhlaknya belum baik.
Sayangnya, niat menuntut ilmu sering kali terpengaruh oleh prestise sosial, terutama dengan pengaruh media sosial yang kuat. Dulu, orang tua menyantrikan anaknya ke pesantren untuk belajar agama dan menjadi anak yang saleh. Sekarang, niat orang tua lebih sering untuk mengurus anak yang tidak sempat diurus di rumah. Niat yang salah ini berakibat pada hasil pendidikan yang kurang maksimal. Penting bagi guru untuk menanamkan nilai yang benar kepada anak-anak, agar mereka memahami pentingnya niat yang ikhlas dalam menuntut ilmu.
Pelajar Indonesia yang berhasil menyelesaikan studi di luar negeri menunjukkan kesiapan mental dan kemampuan adaptasi yang baik. Mereka mandiri, sederhana, dan sabar menghadapi kesulitan, bukan semata-mata karena prestasi akademik. Di pesantren, ada Panca Jiwa Pondok: keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islamiyah, dan kebebasan. Jika santri sudah terbiasa dengan nilai-nilai ini, mereka akan siap menghadapi tantangan di luar negeri.
Namun, jika niat menuntut ilmu hanya untuk prestise, hasilnya tidak akan maksimal. Santri harus memahami bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan. Oleh karena itu, penting bagi santri yang mendapatkan beasiswa untuk memiliki komitmen mengabdi dan memberikan kontribusi bagi pondok. Sistem evaluasi dan pengecekan rutin dapat memastikan hal ini. Misalnya, santri yang kuliah di luar negeri harus pulang setiap sekian tahun untuk dievaluasi.
Pendidikan di pesantren menanamkan nilai-nilai ilmu, akhlak, dan adab, yang sangat penting untuk membentuk santri yang siap menghadapi tantangan hidup dan memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan agama. Dengan niat yang ikhlas dan adab yang baik, santri akan mendapatkan berkah ilmu dan diangkat derajatnya oleh Allah Swt. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Mujadalah ayat 11:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Mendidik anak memang tidak mudah. Hasil dari didikan kita saat ini dapat kita evaluasi dan analisis untuk menemukan kekurangannya. Dalam Pancajangka, terdapat pengajaran dan kepengasuhan yang juga perlu kita evaluasi.