Peradaban Islam memiliki perbendaharaan intelektual yang sangat kaya, yang salah satunya tercermin dalam penghargaan tinggi terhadap ilmu. Para ulama, melalui karya-karya monumental mereka, tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga memuliakan ilmu dengan cara yang sangat indah dan simbolis. Nama-nama kitab yang mereka ciptakan sering kali menyiratkan nilai-nilai luhur yang terkait dengan ilmu: sesuatu yang lebih berharga daripada harta dan kesenangan duniawi. Nama-nama kitab ini memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana ilmu dipandang dalam Islam, bukan sekadar pengetahuan, tetapi sebagai permata, taman, cahaya, dan sumber kehidupan spiritual.
Ilmu sebagai Permata: “al-Lu’lu wa al-Marjan”
Kitab al-Lu’lu wa al-Marjan (اللؤلؤ والمرجان) karya Ahmad Fuad Abdul Baqi (w. 1426 H/2005 M). Nama al-Lu’lu wa al-Marjan, yang berarti “Permata dan Mutiara”, mencerminkan betapa berharga dan mulianya ilmu yang terkandung dalam kitab ini. Hadis-hadis yang dipilih dan disusun dalam kitab ini mengajarkan bahwa ilmu adalah permata yang sangat berharga, lebih mulia dari harta dan dunia itu sendiri. Sebagaimana permata dan mutiara yang langka dan mempesona, ilmu dalam tradisi Islam adalah harta yang harus dijaga, dirawat, dan disebarkan untuk kemaslahatan umat.
Ilmu sebagai Taman Keindahan: “Riyadh al-Shalihin”
Begitu pula dengan Riyadh al-Shalihin (رياض الصالحين) karya Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M). Nama kitab ini, yang berarti “Taman Orang-Orang Saleh”, menyiratkan bahwa ilmu adalah taman yang menyejukkan hati dan memberikan kedamaian bagi jiwa. Dalam pandangan Imam Nawawi, ilmu adalah tempat yang menyegarkan, sebuah taman spiritual di mana orang-orang saleh dapat bertumbuh dan merasakan kedamaian batin. Sebagaimana taman yang penuh dengan keindahan dan keteduhan, ilmu juga memberi ketenangan jiwa dan memperbaiki akhlak, mengantarkan setiap individu pada kebajikan dan kedekatan dengan Allah.
Ilmu sebagai Cahaya Kehidupan: “Ihya’ ‘Ulum al-Din”
Kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din (إحياء علوم الدين) karya Imam al-Ghazali (w. 1111 M), dengan namanya yang berarti “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, menggambarkan ilmu sebagai cahaya yang menghidupkan hati dan mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik dan lebih dekat dengan Tuhan. Imam al-Ghazali mengajarkan bahwa ilmu harus dipadukan dengan amal, dan pengetahuan yang benar adalah yang dapat mengubah perilaku serta mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu, dalam pandangan al-Ghazali, bukan sekadar teori, melainkan praktik yang menyinari kehidupan spiritual setiap individu.
Ilmu sebagai Pembukaan yang Baik: “Fath al-Bari”
Nama Fath al-Bari (فتح الباري), yang berarti “Pembukaan yang Baik”, karya Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1449 M), mencerminkan bahwa ilmu adalah pembuka pintu pemahaman yang lebih luas. Kitab ini adalah penjelasan terhadap Sahih al-Bukhari, dan seperti namanya, ia mengarahkan pembaca untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan bijak tentang hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Ilmu dalam tradisi Islam diibaratkan sebagai pembuka jalan menuju kebijaksanaan dan pencerahan, yang membawa umat menuju pemahaman yang lebih baik tentang agama dan kehidupan.
Ilmu sebagai Kebijaksanaan: “Al-Hikam”
Nama Al-Hikam (الحكم) karya Ibn Ata’illah al-Iskandari (w. 709 H/1309 M), yang berarti “Kebijaksanaan”, menggambarkan ilmu sebagai petunjuk spiritual yang mendalam, yang mengajarkan pemurnian jiwa dan kedekatan dengan Allah. Kitab ini penuh dengan ajaran tasawuf dan kebijaksanaan yang dapat menuntun umat Islam untuk hidup lebih arif, sabar, dan penuh kesadaran spiritual. Ilmu yang diajarkan oleh Ibn Ata’illah adalah ilmu yang mendalam dan penuh dengan hikmah, bukan hanya untuk dipelajari, tetapi juga untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu sebagai Hukum yang Indah: “Al-Muhalla”
Al-Muhalla (المحلّى) karya Ibn Hazm al-Andalusi (w. 456 H/1064 M) adalah sebuah karya yang memaparkan fikih secara sistematis dan indah. Nama Al-Muhalla, yang berarti “Yang Dihiasi”, menggambarkan ilmu hukum yang diajarkan oleh Ibn Hazm sebagai sesuatu yang indah dan penuh kejelasan. Kitab ini mencerminkan bahwa ilmu fikih dalam Islam bukan hanya sekadar aturan-aturan yang kaku, tetapi juga memiliki dimensi keindahan dalam penerapannya yang menuntun umat pada kehidupan yang penuh kemuliaan dan keadilan.
Ilmu sebagai Keseimbangan: “Maqasid al-Shari’ah”
Nama Maqasid al-Shari’ah (مقاصد الشريعة), karya Imam al-Shatibi (w. 1388 M), yang berarti “Tujuan-Tujuan Syariat”, juga menyiratkan bahwa ilmu dalam Islam memiliki tujuan yang jauh lebih besar dari sekadar pemahaman hukum. Kitab ini mengajarkan bahwa syariat Islam bertujuan untuk menjaga kemaslahatan umat melalui perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Ilmu dalam konteks ini tidak hanya mengatur perbuatan lahiriah, tetapi juga bertujuan untuk menciptakan keseimbangan yang harmonis antara aspek spiritual, moral, sosial, dan material dalam kehidupan umat.
Ilmu sebagai Harmoni antara Filsafat dan Syariat: “Fashl al-Maqal”
Fashl al-Maqal fi Ma Bayna al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal (فصل المقال فيما بين الحكمة والشريعة من الاتصال), yang berarti “Pemisahan Kata mengenai Hubungan antara Filsafat dan Syariat.” Kitab ini adalah salah satu karya besar dari Ibn Rushd (Averroes) (w. 595 H/1198 M) yang membahas hubungan antara filsafat dan syariat Islam, serta bagaimana keduanya dapat berjalan seiring tanpa bertentangan. Nama kitab ini menunjukkan usaha Ibn Rushd untuk mengklarifikasi bahwa filsafat dan syariat tidak saling bertentangan, melainkan dapat saling melengkapi dalam pencarian kebenaran. Menurut Ibn Rushd, filsafat adalah alat yang sah untuk memahami wahyu Ilahi secara rasional, dan keduanya—hikmah dan syariat—bertujuan untuk membawa umat kepada kebijaksanaan dan kesejahteraan hidup yang sejati. Dengan demikian, karya ini tidak hanya memberikan wawasan tentang filsafat dan syariat, tetapi juga menunjukkan pentingnya mengharmoniskan keduanya dalam kehidupan umat Islam, yang pada akhirnya membawa umat pada pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran Ilahi.
Ilmu sebagai Cahaya Kehidupan: “Tafsir Marah al-Labid”
Salah satu karya tafsir penting dalam tradisi Islam Indonesia adalah Tafsir Marah al-Labid (atau Tafsir al-Munir), karya Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1897 M). Nama al-Munir (المُنير), yang berarti “Yang Memberi Cahaya”, menggambarkan sifat dari tafsir ini yang bertujuan untuk memberikan penerangan dalam memahami wahyu Allah. Dalam karya monumental ini, Syekh Nawawi al-Bantani menggabungkan pengetahuan mendalam tentang bahasa Arab, fiqh, dan hadis untuk menjelaskan setiap ayat Al-Qur’an secara sistematis dan mudah dipahami oleh umat Islam di Indonesia.
Ilmu sebagai Pencegah Kesalahan: “Al-Jurumiyah”
Nama Al-Jurumiyah (الجُمُرِيَّة) karya Imam Ibn Ajurrum (w. 723 H/1323 M), yang berarti “Kesalahan” atau “Pelanggaran”, juga menyiratkan makna yang mendalam dalam konteks ilmu. Kitab ini adalah karya dasar dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab) yang disusun dengan tujuan untuk mencegah kesalahan dalam penggunaan bahasa. Sebagaimana nama kitab ini, ilmu nahwu mengajarkan kita untuk menghindari kesalahan dalam pemahaman dan penggunaan bahasa Arab, yang sangat penting untuk memahami teks-teks agama dengan benar. Al-Jurumiyah bukan hanya mengajarkan tata bahasa, tetapi juga memberikan pedoman untuk memperbaiki cara berkomunikasi dan menghindari kesalahan yang dapat mempengaruhi pemahaman agama, baik dalam tafsir maupun dalam berdakwah.
Kembali Merawat Tradisi
Kehadiran ilmu yang mulia ini dalam berbagai disiplin – mulai dari tafsir, fikih, tasawuf, akhlak, hingga filsafat – menggarisbawahi betapa pentingnya peran ilmu dalam menciptakan peradaban yang luhur. Nama-nama kitab yang begitu indah ini mencerminkan bahwa ilmu dalam Islam bukan hanya untuk dipelajari, tetapi juga untuk diamalkan dan disebarkan kepada umat manusia. Dengan demikian, ilmu tidak hanya menjadi harta yang harus disimpan, tetapi juga permata yang harus dibagikan untuk membawa kebaikan bagi umat dan dunia ini.
Inilah yang luput dari perhatian para orientalis dalam Islamic Studies, yang seringkali hanya terfokus pada teori akademis keislaman semata. Mereka lebih banyak membahas Islam dalam ranah intelektual dan historis tanpa menyentuh kedalaman spiritual dan moral yang sesungguhnya terkandung dalam ajaran-ajaran Islam. Pemahaman semacam ini, sayangnya, juga menular pada sebagian mahasiswa dan pelajar Muslim yang terjebak dalam pandangan bahwa ilmu hanya sebatas akumulasi pengetahuan dan teori semata, tanpa mengaitkan dengan amal atau aplikasi dalam kehidupan nyata.
Kehilangan konteks ini bisa membuat pemahaman mereka terhadap ilmu dan peradaban Islam menjadi lebih dangkal dan terpisah dari makna sejatinya. Sebab, dalam tradisi Islam, ilmu bukan hanya untuk dipelajari, tetapi untuk diimplementasikan, diamalkan, dan disebarkan demi kemaslahatan umat. Para ulama terdahulu selalu menekankan bahwa ilmu adalah cahaya yang menerangi hati dan jalan hidup, bukan sekadar harta yang disimpan. Jika para mahasiswa dan pelajar Muslim dapat kembali memahami esensi ilmu seperti yang diajarkan oleh para ulama, maka mereka akan mampu menghidupkan kembali peradaban yang penuh hikmah ini, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk kebaikan dunia dan akhirat.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk menggali kembali warisan intelektual dan spiritual yang begitu kaya dalam tradisi Islam, dan tidak hanya berhenti pada pemahaman akademis semata, tetapi juga menjadikannya sebagai pedoman hidup yang membimbing kita menuju kebajikan yang lebih tinggi.