Jalan-Jalan Perintah Tuhan

Sebagai agama, Islam mengatur setiap aspek kehidupan dengan sangat rinci. Tidak ada satu keadaan pun yang luput dari ketentuannya, sebagaimana Allah isyaratkan dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 38: “…tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab…” Dengan demikian, visi penciptaan manusia untuk beribadah dapat terwujud melalui konsep bahwa Tuhan tidak hanya disembah dalam praktik ibadah formal, tetapi juga dalam ibadah muamalah. Aktivitas sehari-hari, transaksi jual-beli, hingga wisata pun memiliki nilai ibadah, sehingga tidak sekadar menjadi rutinitas belaka.

Kegiatan rihlah tahunan yang diadakan Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan, hal ini diyakini telah lebih dahulu ditirakati oleh para pendiri pesantren, karena selain mengandung nilai sosial, jalan-jalan juga harus menjadi sarana peningkatan kecerdasan spiritual santri. Salah satu penerapannya adalah dengan memahami fiqih rukhshah bagi musafir, seperti keringanan dalam menjamak dan mengqasar salat. Lebih dari sekadar perjalanan, santri juga diajak untuk memahami bahwa wisata bukan hanya ajang bersenang-senang atau menghamburkan uang, tetapi merupakan bagian dari perintah Tuhan yang termaktub dalam Al-Qur’an. Benarkah demikian?

Jalan-Jalan dalam Al-Qur’an dan Hadits

Allah berfirman dalam surat Al-Mulk ayat 15: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah untuk kamu jelajahi, maka berjalanlah ke segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu dibangkitkan.” Meskipun tidak bersifat wajib, kata kerja dalam ayat ini menggunakan fi‘il amr, yang dalam bahasa Arab menunjukkan perintah.

Imam At-Tabari (310 H) menjelaskan bahwa ayat tersebut menggambarkan bagaimana Allah telah menjadikan bumi mudah dijelajahi oleh manusia. Oleh karena itu, setelahnya Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berjalan menapaki bumi. Beliau juga menambahkan bahwa bagian bumi yang disebutkan dalam ayat ini mencakup pegunungan dan tepian pantai sebagai tempat yang layak dikunjungi. Sementara itu, Imam Ibnu Katsir (774 H) menafsirkan seolah-olah Allah berpesan kepada hamba-Nya: “Bersafarlah ke mana pun kamu mau.”

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (241 H) dalam Musnad-nya, Rasulullah ﷺ bersabda: “Berwisatalah, niscaya kalian akan sehat.” Al-‘Azizi (1070 H) dalam As-Siraj al-Munir, syarah dari Al-Jami’ Ash-Shaghir karya As-Suyuthi (911 H), menjelaskan bahwa wisata dapat menjadi sebab kesehatan, karena aktivitas fisik dalam perjalanan membawa banyak manfaat bagi tubuh.

Namun, ada pula hadits lain yang tampaknya bertentangan dengan anjuran safar. Imam Al-Bukhari (256 H) meriwayatkan dari Abu Hurairah (59 H) radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Safar adalah bagian dari azab. Ia mencegah seseorang dari (kenikmatan) makan, minum, dan tidur. Apabila seseorang telah menuntaskan hajatnya, maka hendaknya ia bersegera kembali kepada keluarganya.”

Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (852 H) dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa safar disebut sebagai bagian dari azab karena kesulitan dan kelelahan yang dialami dalam perjalanan. Beliau juga menafsirkan bahwa bepergian tanpa mengajak keluarga hukumnya makruh jika tidak ada kebutuhan mendesak. Namun, jika terdapat keperluan yang mengharuskan seseorang bepergian sendirian, maka dianjurkan untuk segera kembali, terutama jika ada anggota keluarga yang dikhawatirkan akan meninggal dunia saat ia pergi. Selain itu, Ibnu Hajar menekankan bahwa tinggal bersama keluarga lebih menenteramkan dan mendukung ketakwaan dalam ibadah.

Mengenai kontradiksi antara hadits yang menyatakan safar menyehatkan badan dan hadits yang menyebut safar sebagai azab, Imam Ibnu Hajar mengutip pendapat Ibnu Battal (449 H). Menurutnya, tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut. Kesulitan dalam perjalanan tidak menafikan manfaat kesehatan yang bisa diperoleh darinya. Safar diibaratkan seperti obat yang pahit, tetapi menyembuhkan—melelahkan, tetapi menyehatkan badan dan pikiran.

Objek Wisata dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an menyebut konsep “jalan-jalan” dengan dua istilah yang berbeda: masy (مَشْيٌ) dalam 19 ayat dan sair (سَيْرٌ) dalam 16 ayat. Di antara ayat-ayat tersebut, Allah memberikan rekomendasi mengenai objek wisata yang patut dikunjungi. Salah satunya terdapat dalam surat Al-An‘am ayat 11: “Katakanlah (wahai Muhammad ﷺ), jelajahilah bumi, lalu lihatlah bagaimana kesudahan kaum-kaum terdahulu yang mendustakan (kebenaran).”

Ayat serupa juga terdapat dalam beberapa tempat lain di Al-Qur’an, menunjukkan penekanan yang kuat dari Allah terhadap pentingnya mempelajari sejarah umat terdahulu. Dalam perjalanan, kita dianjurkan untuk mengunjungi situs-situs bersejarah. Selain memperkaya wawasan, tempat-tempat ini juga menjadi sumber pelajaran moral bagi generasi berikutnya.

Allah juga menjelaskan alasan mengapa kita perlu menyaksikan peninggalan peradaban kuno. Kaum terdahulu memiliki kekuatan yang lebih besar dalam mengelola bumi, sebagaimana disebutkan dalam surat Ar-Rum ayat 9, Fatir ayat 44, serta Ghafir ayat 21 dan 82. Allah seolah ingin kita memahami bahwa mereka pernah mencapai puncak kejayaan peradaban. Namun, karena dosa dan kezaliman yang merajalela, Allah menghancurkan mereka hingga lenyap tanpa jejak. Kaum Tsamud, misalnya, dihancurkan dengan azab sebagaimana dikisahkan dalam surat Hud ayat 68.

Imam Al-Qurtubi (671 H) menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut menjadi dalil bahwa bepergian ke tempat-tempat bersejarah untuk mengambil ibrah adalah sunnah dan dianjurkan. Oleh karena itu, kita sebaiknya memilih destinasi wisata yang tidak hanya menarik, tetapi juga memberikan manfaat spiritual dan intelektual.

Baik-Buruk Pelesiran

Keberadaan dua hadits yang tampaknya berlawanan memunculkan diskusi para ulama mengenai keutamaan dan risiko safar. Perbedaan pandangan ini tidak seharusnya membingungkan, tetapi justru memperkaya pemahaman kita tentang Islam.

Imam Asy-Syafi‘i (204 H) dalam sebuah syairnya menyebutkan lima manfaat safar:

  1. Solusi dari masalah
  2. Membuka pintu rezeki
  3. Memperoleh ilmu pengetahuan
  4. Meningkatkan adab dalam ucapan dan tindakan
  5. Menjalin persahabatan dengan orang-orang baik

Namun, di sisi lain, Qadhi Ath-Thurthusyi (520 H) memberikan peringatan tentang tujuh tantangan dalam safar:

  1. Perpisahan dengan saudara
  2. Kehilangan orang tercinta
  3. Lenyapnya harta
  4. Ancaman perampokan
  5. Gangguan binatang buas
  6. Rasa tidak nyaman
  7. Tidur di tempat asing

Dua sudut pandang ini memberikan gambaran seimbang tentang perjalanan: selain memiliki banyak manfaat, safar juga perlu dipersiapkan dengan baik agar tidak menjadi beban. Begitu sempurnanya ajaran Islam hingga mengatur segala aspek kehidupan, termasuk perjalanan yang sering dianggap sebagai sekadar rutinitas.

Akhirnya, semoga setiap perjalanan yang kita tempuh tidak hanya sekadar perpindahan jarak, tetapi juga menjadi ibadah yang penuh berkah.