
Kewajiban berdakwah diemban oleh setiap mukmin. Ibadah dakwah menjadi tanggung jawab bersama dalam mengajak, mengajarkan, dan menyebarkan ajaran Islam ke setiap penghuni Bumi. Pentingnya dakwah tercermin dari bagaimana Allah Swt. mengawal perintah dakwah ini dengan ilmu dan adab dalam berdakwah. Seolah Dia tidak ingin ibadah mulia ini dijalankan secara serampangan oleh oknum yang menjadikannya sebagai lahan pencarian atau sebatas pelampiasan amarah yang tak tersalurkan.
Meski berdakwah tidak mensyaratkan segudang ilmu atau kesucian diri dari ragam bentuk kemaksiatan, ia tetap menghajatkan adab yang luhur dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini, al-Qur’an begitu banyak menyuguhkan ayat yang menjabarkan adab dalam berdakwah. Allah Swt. mengajarkan metodologi berdakwah kepada umat Islam yang memikul kewajiban dakwah lewat kisah para nabi dengan kaumnya. Di antara banyak kisah, kita ambil salah satunya yang tertera dalam surat Nuh.
Allah memulai kisah-Nya dengan mengabarkan tentang kerasulan Nuh yang telah diutus untuk kaumnya. Berikut kisah lengkapnya:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan perintah), ‘Berilah peringatan kepada kaummu sebelum datang azab yang pedih kepadanya!’ Dia (Nuh) berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku ini adalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan kepadamu, (yaitu) sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku, niscaya Dia akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkanmu (memanjangkan umurmu) sampai pada batas waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah itu, apabila telah datang, tidak dapat ditunda. Seandainya kamu mengetahui(-nya).’
Dia (Nuh) berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, melainkan mereka (makin) lari (dari kebenaran). Sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinganya dan menutupkan bajunya (ke wajahnya). Mereka pun tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri. Kemudian, sesungguhnya aku menyeru mereka dengan cara terang-terangan. Lalu, aku menyeru mereka secara terbuka dan diam-diam. Lalu, aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. (Jika kamu memohon ampun,) niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, memperbanyak harta dan anak-anakmu, serta mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu.” (Nuh: 1-12).
Penggalan ayat di atas mengisahkan bagaimana Nabi Nuh ‘alaihissalam mencurahkan isi hatinya kepada Allah Swt. saat menghadapi kaumnya. Beliau mengadukan perihal dakwah yang dijalankan siang-malam dan bagaimana reaksi kaumnya saat diserukan panggilan tauhid. Melalui teladan luhur ini, penulis akan mencoba merangkum hal yang penting diperhatikan dalam berdakwah, yang meliputi kontennya, cara penyampaiannya, dan mengenali objek dakwah.
Konten Dakwah
Sebelum mulai menyuarakan kebenaran dan mengajak orang beribadah, hendaknya pendakwah terlebih dahulu memastikan kebenaran seperti apa yang akan disampaikan. Ibadah apa yang akan diajarkan. Pastikan bahwa hal itu telah disepakati kebenarannya oleh ulama yang kompeten dan ibadah yang diajarkan sudah sesuai dengan tuntunan Islam. Hal yang demikian adalah untuk menghindari pembicaraan yang tidak perlu, menyesatkan, dan menyebarkan kebodohan tanpa sadar.
Perlunya ilmu agama dalam berdakwah sebagai bentuk penjagaan dari menyalahkan yang benar atau membenarkan yang salah. Sebab dakwah merupakan panggilan untuk membenahi kerusakan. Maka, perlu memiliki tolok ukur untuk menentukan mana yang rusak dan mana yang baik-baik saja.
Setelah memastikan kebenaran yang akan disampaikan dan menentukan ibadah seperti apa yang akan diajarkan, sampaikanlah dengan hikmah dalam bentuk mau’izah hasanah (nasihat yang baik).
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (an-Nahl: 125).
Seperti halnya Nabi Nuh yang konten dakwahnya penuh dengan kebenaran dan ajakan untuk beribadah. Perhatikan bagaimana beliau mengisi dakwahnya dengan menyeru kaumnya agar mereka hanya menyembah Allah dan bertakwa kepada-Nya. Kemudian, beliau menyampaikan sebuah kebenaran bahwa apabila mereka tidak menyekutukan Allah, niscaya Dia akan mengampuni dosa dan memanjangkan umur mereka. Setelah itu, barulah ia mengajarkan sebuah ibadah yang menjadi sarana seorang hamba untuk terkoneksi pada Tuhannya.
Pada ayat 10, Nabi Nuh menyeru kaumnya untuk beristighfar memohon ampun kepada Allah Swt. yang Maha Pengampun. Tidak hanya itu, pada ayat selanjutnya beliau juga memotivasi kaumnya dengan balasan berlimpah yang dijanjikan Tuhan bagi siapa pun yang melazimkan istighfar.
Metode Dakwah
Kebenaran absolut dan ajakan ibadah yang luhur mesti disajikan dengan kemasan yang indah. Layaknya makanan, selezat apa pun rasanya, orang tidak akan tertarik menyicipinya jika dihidangkan dengan cara yang sembarangan. Begitu pun dakwah. Untuk menarik perhatian audiens, pendakwah harus pandai mengemas pesan dakwah dengan rapi, dengan memilih diksi kata yang baik dan intonasi yang tepat. Jika dirasa butuh penekanan dan penegasan, tidak dilarang menaikkan suara selama dalam konteks kebajikan.
Perlu diketahui bahwa dakwah dasarnya adalah cinta. Sehingga tidak tepat jika dilandaskan kebencian terhadap suatu objek dakwah. Dakwah yang dilandaskan dengan kebencian dapat ditandai dengan adanya bentuk intimidasi secara verbal, pesan yang disampaikan tidak terarah, bahkan isinya hanya ujaran merendahkan dan sumpah serapah.
Sedangkan, dapat kita temukan pada ayat 7 bahwa Nabi Nuh dalam dakwahnya beliau memohonkan ampunan Allah untuk kaumnya yang membangkang. Selain itu, frekuensi dakwah yang dilakukan Nabi Nuh sangat intens. Pada surat al-Ankabut ayat 14, Allah Swt. mengabarkan bahwa Nabi Nuh berdakwah selama 950 tahun. Dalam kurun waktu hampir satu milenium, beliau mendakwahkan kaumnya siang dan malam, secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Beliau tidak bosan menyampaikan risalah ketuhanan meski yang didapatkan adalah penolakan. Walau demikian, hal itu tidak menyurutkan semangat dan kesabaran beliau dalam berdakwah.
Mengenali Objek Dakwah
Klasifikasi objek dakwah memudahkan dalam menentukan konten dan menyesuaikan gaya bahasa yang akan digunakan saat berdakwah. Hal tersebut akan sangat membantu pendakwah untuk mendapat penerimaan saat menasihati suatu kelompok.
Misalnya saja, dalam konteks pendidikan, seorang guru yang hendak menasihati anak didiknya harus mengetahui kemampuan anak dalam memahami sebuah informasi. Tidak bijak seorang guru yang menggunakan bahasa yang jelimet ketika memberikan sebuah pelajaran. Pun sebaliknya, tidak diperkenankan juga bagi seorang pendidik saat mendidik meminjam istilah yang kerap digunakan kaum yang tidak terdidik.
Mari sekali lagi kita menilik bagaimana Allah Swt. mengajarkan kita berdakwah lewat kisah Nabi Nuh dan kaumnya. Bukan tanpa tujuan Allah Swt. mengabarkan bagaimana reaksi kaum Nabi Nuh saat didakwahi. Dalam pengaduannya, Nabi Nuh menceritakan keadaan kaumnya yang selalu menyumpal telinga mereka dengan jari-jarinya dan menutup wajahnya dengan baju mereka sebagai bentuk kesombongan yang menolak kebenaran. Tentunya Allah Swt. mengabadikan pembangkangan mereka dalam al-Qur’an untuk kita jadikan pelajaran.
Jika Nabi Nuh saja bersabar dan berlemah lembut kepada kaumnya yang jumawa, maka seharusnya seorang pendakwah lebih sabar terhadap objek dakwahnya. Sebab pendakwah bukan Nabi yang istikamah dalam kebenaran, dan orang yang didakwahi tidak sesombong kaum Nabi Nuh.
Adakalanya pendakwah terjatuh dalam kesalahan. Sehingga dalam berdakwah, tidak sepantasnya dia merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Justru seharusnya, ia juga menghitung dirinya sebagai salah satu objek dakwah yang lebih berhak didakwahi.
Hal yang tidak kalah penting yang perlu disadari oleh setiap pendakwah adalah bahwa hidayah mutlak di tangan Tuhan. Sebagai pendakwah, kita harus tahu garis batas yang tidak boleh dilangkahi. Membuat orang baik adalah kuasa-Nya. Di sini, pendakwah hanya bertugas sebagai hamba Allah Swt. yang juga sedang berupaya menjalankan salah satu perintah-Nya, dakwah.
Sehingga, tidak perlu murka jika objek dakwah tidak kunjung berubah keadaannya, terus-menerus mengulangi kesalahan yang sama, atau bahkan lebih parah dari sebelumnya. Sebab yang demikian tidak keluar dari kehendak dan pengetahuan-Nya. Jika Dia mau, bisa saja mereka menjadi manusia paling saleh di muka bumi bahkan tanpa didakwahi sekalipun.
Hal yang membuat para pendakwah naik pitam adalah karena mereka merasa bertanggung jawab atas hidayah objek dakwahnya. Padahal tidak sama sekali. Allah Swt. menegaskan hal tersebut lewat banyak firman-Nya. Di antaranya dalam surat al-Baqarah ayat 272:
“Bukanlah kewajibanmu (Nabi Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk).”
Jika Nabi Muhammad ﷺ dibebaskan dari tanggung jawab hidayah umatnya, terlebih para pendakwah yang bukan Nabi. Pada ayat yang lain, Allah Swt. berfirman:
“Maka, berilah peringatan karena sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.”
Seperti yang diutarakan sebelumnya pada tulisan ini, bahwa dakwah merupakan panggilan untuk memperbaiki kerusakan. Maka, selayaknya memperbaiki kerusakan dengan baik dan benar. Bukan malah menambahkannya dengan kerusakan lainnya. Sertai dakwah dengan doa. Sebab tiada daya dan upaya dalam memperbaiki kerusakannya.
Dakwah santun merupakan warisan luhur para Nabi dan Rasul, hamba-hamba pilihan-Nya.
“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka, ikutilah petunjuk mereka.” (al-An’am: 90).