Cinta

Duduk sendirian di dalam gua yang terletak di puncak pegunungan, Muhammad merenung dalam kegelisahan. Pikirannya tidak terfokus pada dirinya sendiri, melainkan pada penderitaan yang dialami umatnya. Mengapa mereka saling menindas satu sama lain, mengapa yang kuat menekan yang lemah, anak-anak yatim dibiarkan terlantar, para budak tersiksa, dan kaum perempuan tidak dihargai. Di sekelilingnya, perilaku buruk seperti perjudian, perzinaan, dan perkelahian merajalela, telah menjadi hal yang lazim setiap harinya. Mereka juga menyembah berhala ciptaan tangan-tangan mereka sendiri, lalu merendahkan diri di hadapan patung-patung itu, bahkan menggantungkan kepercayaan dan nasib atasnya.

Muhammad memikirkan bagaimana kehidupan umatnya telah kehilangan arah dan tujuan yang benar. Mereka hanya terpaku pada kesenangan sesaat, hiruk-pikuk kekuasaan, dan memenuhi kebutuhan duniawi semata yang fana. Di sisi lain, ada yang menangis dan menderita kelaparan dan tersiksa dengan beban berat kehidupan. Dalam dirinya terus bertanya-tanya: adakah makna kehidupan yang lebih tinggi? Apakah ada jalan hidup yang membawa manusia kepada kebaikan sejati?

Muhammad penuh cinta kepada umatnya. Ia terus mencari cara terbaik untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran dan kegelapan moral yang merajalela. Dijaganya hubungan silaturahim, diulurkan tangannya kepada anak-anak yatim, diperhatikannya kebutuhan para fakir miskin, dihormatinya para tetua, dan didamaikannya perselisihan. Ia tersenyum, bersikap ramah, dan memperlakukan setiap orang dengan sebaik-baiknya. Ia pun jujur dan terpercaya dalam setiap kata dan perbuatannya. “Al-amin” menjadi sebutan baginya.

Penderitaan umatnya merupakan beban berat baginya. Kerusakan moral yang melanda generasinya menjadi kesedihan baginya. Hanya kepada Khadijah, sang istri, Muhammad berbagi cerita. Khadijah selalu mendukung dan membesarkan hatinya, menjaga cahaya suci nurani agar tetap menyala, tak padam diterpa badai yang merusak jiwa umat manusia di masanya. Bukan cuma di Jazirah Arab, tetapi seluruh peradaban besar saat itu, seperti Romawi dan Persia.

Suatu hari, Muhammad mendapat kunjungan yang tak terduga dari Malaikat Jibril, utusan Allah Swt. Melalui wahyu Ilahi yang dibawanya, Muhammad diberi petunjuk mengenai Tuhan yang menciptakan manusia dan seluruh alam semesta. Muhammad amat terguncang, menyimak dan terpana, setelah itu berlari, dan menemui sang istri yang segera menenangkan dan menyelimutinya. Muhammad tak pernah membaca taurat atau injil, ia tak tahu menahu peristiwa apa yang dialaminya. Wahyu, kerasulan, dan risalah Ilahi tak terpikirkan baginya.

“Tuhan kita tidak akan meninggalkanmu dalam kesulitan. Engkau adalah seseorang yang selalu memelihara hubungan kekeluargaan, mengangkat beban-beban berat, menolong yang lemah, membela kebenaran, memberi bantuan kepada yang membutuhkan, dan senantiasa memuliakan para tamu.” Demikian kata Khadijah dengan penuh kelembutan.

Itu adalah awal dari amanat besar yang ditugaskan kepada Muhammad sebagai utusan Allah, yaitu memperbaiki kerusakan umat manusia, menyelamatkan mereka dari kehancuran menuju kebaikan dan keselamatan. Sejak itu Muhammad Sang Nabi, teguh mengajarkan tauhid, menyebarkan kasih sayang, keadilan, dan kebenaran di antara umat manusia, serta mengembalikan nilai-nilai moral yang telah lama terlupakan. Dengan penuh kesungguhan, Nabi Muhammad menyampaikan ajaran Ilahi kepada umatnya, menunjukkan jalan hidup yang benar, dan membimbing mereka menuju cahaya petunjuk.

Jiwa-jiwa kelam itu pun terusik dan mengungkapkan kemarahannya kepada Nabi Muhammad. Mereka mengadu kepada Sang Paman, Abu Thalib, untuk mundur dari langkahnya dan membiarkan mereka tetap dalam buaian mimpi kelezatan duniawi. Dengan tegas Muhammad menjawab:

“Wahai Paman, Demi Allah, kalaupun matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan perkara ini (penyampaian risalah) sehingga Allah memenangkannya atau aku binasa, pastilah tidak akan aku meninggalkannya.”

Nabi Muhammad tetap teguh dalam menegakkan kebenaran meskipun dihadapkan pada perlawanan yang semakin keras. Ia menghadapi ancaman, penghinaan, dan intimidasi dari mereka yang tidak mengerti atau menentang ajarannya. Dengan penuh kesabaran, ia hadapi segala ujian, tak terbersit sedikit pun doa untuk kehancuran bagi mereka yang menyakitinya. Ketika penduduk Thaif melemparinya dengan batu, ia pergi meninggalkan mereka dengan luka dan kesakitan.

Dalam kesedihan, Nabi Muhammad menengadahkan wajahnya ke langit dan melihat Jibril menampakkan dirinya seraya menyampaikan salam. Allah mengutus Jibril bersama Malaikat penjaga gunung yang menunggu titahnya untuk menimpakan al-Akhasyabain (dua gunung di Mekah) terhadap penduduk Tha’if. “Wahai Muhammad, Tuhan mengizinkanmu untuk menimpakan dua gunung itu pada penduduk Tha’if.”

Sambil menahan sakit dan luka dikakinya, Nabi Muhammad menunjukkan jiwa seorang yang penuh kasih sayang. “Jangan. Semoga Allah akan mengeluarkan seseorang yang mengucapkan ‘la ilaha illallah‘ dari rahim mereka.”

Ia juga berdoa, “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui. ” Tak ada doa kehancuran, laknat, dan kutukan yang menurunkan badai azab. Nabi Muhammad tetap mendoakan dan menyeru kaumnya tanpa kenal lelah dan menyerah.

Sampailah pada titik kekejaman kafir Quraisy yang semakin menggila dan menggerakkan langkah Nabi Muhammad bersama para pengikutnya yang setia menuju Yatsrib yang segera menjadi kota yang penuh cahaya (Madinah al-Munawarah). Nabi Muhammad dan kaum beriman kini dalam penjagaan Kota Madinah. Beliau pun mempersaudarakan dan menyatukan hati mereka di bawah terang cahaya Ilahi. Bersama dalam ibadah kepada Allah, bersama dalam cinta dan kasih sayang terhadap sesama manusia dalam suasana saling menghormati. Mereka menghadapi beragam tantangan dan kesulitan bersama-sama. Dengan bahu membahu, saling menjaga dan melindungi, membuat mereka tangguh menghalau segala ancaman dan peperangan. Nabi Muhammad memipin mereka dalam salat, di tengah peperangan, hingga melayani urusan umat dengan penuh kasih sayang dan keadilan. Suasana kekeluargaan dan saling berbagi menjadi landasan mereka bersama–meski tetap ada segelintir munafik pendengki dan sekelompok Yahudi penghianat.

Tibalah waktunya para jumawa itu menyerah, menyadari kebesaran Nabi Muhammad, yang dulu mereka hina dan aniaya bersama para pengikutnya, sampai meninggalkan kampung halaman. Dengan anggun nan sopan, wajah teduh tanpa angkuh, Nabi Muhammad memasuki Kota Mekah dan menjamin keselamatan mereka. Tak ada peperangan dan pertumpahan darah layaknya para tiran, yang jika menaklukkan sebuah kota akan membunuh para penduduknya dan merampas harta kekayaannya. Dia yang lembut hati, memaafkan semuanya dan merangkulnya dalam kedamaian Islam. Fathu Makkah menjadi peristiwa kemenangan cinta, kesabaran, dan keikhlasan atas kebodohan dan kezaliman.

Hingga akhir hayatnya, Nabi Muhammad selalu memikirkan dan mementingkan keadaan umatnya. Tak ada ambisi duniawi secuil pun, karena ia bukan hanya “selesai dengan dirinya sendiri” tetapi “melampaui dirinya sendiri” dengan perhatian, kepedulian, dan kasih sayang pada sesama. Sampai-sampai Umar ibn al-Khattab menangis menyaksikan bekas pelepah kurma yang menjadi alas tidur, membekas di tubuh Sang Nabi. Meski di puncak kekuatan, Sang Nabi jauh dari kenyamanan dan kemewahan ala raja-raja Romawi dan Persia. Sang Nabi hanya memikirkan dan mementingkan umatnya.

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin (At-Taubah [9]:128)

Sebelum wafatnya, Sang Nabi menyebut-nyebut umat yang selalu dipikirkannya. Ia juga berwasiat untuk menjaga salat dan melindungi kaum perempuan. Sang Nabi mencita-citakan umat yang saling mencintai, berkasih sayang, dan menghindari permusuhan dan pertumpahan darah. Umat yang damai dan bersatu dalam iman kepada Allah Swt.

Terima kasih untuk segala cintamu ya Rasulullah. Terima kasih untuk seluruh perjuanganmu. Terima kasih untuk segenap bimbingan dan keteladananmu. Salawat dan salam semoga senantia terlimpah kepadamu wahai baginda. Masukanlah kami ke dalam golongan umatmu dan dekat denganmu di yaumil akhir nanti. Kami yang berlumuran dosa, ringankanlah kami dengan syafaatmu.