“Banten adalah kota ilmu, kota cahaya,” demikian diungkap K.H. Hamdan Suhaemi pada Rabu (13/11/2024) dalam suatu jamuan kopi bersama tim redaksi. Pernyataan ini merujuk kepada fakta sejarah di mana Banten memiliki kekayaan intelektual yang signifikan. Hanya saja, menurut Ketua FKUB Kabupaten Serang ini, semua itu masih sedikit diketahui karena banyaknya manuskrip yang dibawa ke Leiden, Belanda, sehingga terjadilah pengerdilan sejarah yang sangat merugikan.
Dalam sejarah Islam di Nusantara, Banten dikenal sebagai pusat ilmu dan keagamaan, selain sebagai kekuatan sosial, politik, dan ekonomi. Pada masa kejayaannya, Banten, sebagai pelabuhan internasional, menjadi salah satu pusat pengembangan intelektual Islam. Menurut Kiai Hamdan, penulis buku K.H. Syanwani Banten: Perjalanan Hidup Ulama Pejuang (2020) ini, Banten menampung berbagai pengaruh ilmu keislaman dari luar wilayahnya, terutama melalui Kasunyatan sebagai pusat pendidikan Islam. Kemudian, peran tokoh-tokoh seperti Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (w.1651 M), serta keberadaan ulama-ulama besar, sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam di Banten.
Berikut ini adalah penjelasan Kiai Hamdan terkait tiga aspek yang memperkuat kedudukan Banten sebagai kota ilmu. Penjelasan ini pernah beliau tuliskan di situs banten.nu.or.id., ” Sejarah Kasunyatan, Pusat Pendidikan Islam Kesultanan Banten” (2023).
Kealiman Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir
Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, cicit dari Sultan Maulana Hasanuddin, dikenal sebagai seorang pemimpin yang juga aktif menulis dalam berbagai bidang, seperti fikih, tasawuf, kemiliteran, hingga kuliner. Meskipun peranannya sering kali kurang dikenal dibandingkan dengan Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Maulana Yusuf, dan Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Abul Mafakhir memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mereformasi sistem pemerintahan Kesultanan Banten. Ia juga berjasa membuka jalan menuju masa keemasan Kesultanan Banten, baik dalam bidang keagamaan, ekonomi, pendidikan, maupun militer. Hal ini juga diungkap oleh Jemmy Ibnu Suardi, dalam Sultan Abu’l Mafakhir Mahmud Abdul Qadir: Sultan Agung Banten I Penguasa Ujung Barat Pulau Jawa 1596-1651 (2024).
Kesultanan Banten pada masa itu merupakan salah satu kekuatan politik Islam terbesar di tanah Jawa, yang berhasil bertahan dari serangan Mataram dan Batavia. Di bawah kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir perekonomian Banten mengalami kemajuan. Salah satu pencapaian penting adalah pengiriman utusan ke Mekkah pada 1630-an dan India pada 1640-an, serta pengesahan Kesultanan Banten oleh Khalifah Utsmaniyah melalui wakilnya di Makkah.
Selain itu, Sultan Abul Mafakhir memperkuat angkatan laut Banten, menjadikannya sebagai pusat kemiliteran maritim yang strategis. Sebagaimana dicatat oleh Prof. A.B. Lapian dalam Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17 (2017), Banten menjadi pelabuhan yang tidak hanya aman, tetapi juga menjadi jalur penyebaran pengetahuan Islam. Sultan Abul Mafakhir sangat menghargai para ulama dan bahkan mengalokasikan anggaran besar untuk menyalin kitab-kitab ulama. Salah satu contoh adalah ketika Raden Aria Wangsakara membawa kitab al-Insan al-Kamil karya Al-Jili dari Mekkah untuk dibaca oleh Sultan Abul Mafakhir.
Kasunyatan sebagai Pusat Pendidikan Islam
Kasunyatan mulai berkembang sebagai pusat pendidikan Islam sejak masa Sultan Maulana Hasanuddin. Hubungan erat dengan Hijaz (sekarang Saudi Arabia) sejak abad ke-16 memungkinkan ulama-ulama dari Madinah untuk datang dan menyebarkan pengaruh Mazhab Syafi’i. Seiring berjalannya waktu, Kasunyatan menjadi salah satu pusat ilmu agama tertua di Nusantara, yang menggabungkan pengetahuan Islam dengan kearifan lokal.
Pada masa Sultan Abul Mafakhir, Kasunyatan menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Kesultanan Banten. Sultan Abul Mafakhir mengundang ulama-ulama dari berbagai wilayah, seperti Madinah, Makkah, Turki, dan Persia, untuk tinggal di Kasunyatan dan mendidik masyarakat dalam berbagai disiplin ilmu agama. Pusat aktivitas keagamaan di Kasunyatan terletak di masjid Kasunyatan yang dibangun sejak Kasunyatan menjadi pusat pendidikan, terutama bagi anak-anak keluarga Sultan.
Kasunyatan yang luasnya sekitar 6 hektar ini memiliki beberapa kelompok kajian, termasuk filsafat, tasawuf, dan fiqih. Di sini pula berkembang tarekat-tarekat seperti Qodiriyah Naqsyabandiyah dan Syattariyah. Di samping itu, ada lembaga kajian lain yang lebih fokus pada fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir, serta sejarah Islam. Dari dua lembaga ini, lahirlah istilah Kiai Dukuh dan Faqih Najmudin—bukan merujuk pada nama orang, tetapi pada lembaga pengajaran yang mirip dengan fakultas di perguruan tinggi modern.
Kasunyatan pada abad ke-17 dapat dipandang sebagai “kampus” dengan santri yang datang dari berbagai daerah Nusantara dan luar negeri, termasuk Syekh Yusuf Al-Makasari, seorang ulama besar dan mursyid tarekat Syattariyah yang juga menantu Sultan Abul Fath Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa). Bahkan, Pangeran Wangsadireja ditugaskan untuk belajar di berbagai pesantren besar di Jazirah Arab sebelum mengundang ulama-ulama tersebut untuk datang mengajar di Banten. Kasunyatan menjadi saksi sejarah yang cemerlang sebagai pusat intelektual dan spiritualitas, yang masyhur hingga ke mancanegara.
Kasunyatan adalah contoh jelas bagaimana Banten menjadi pusat intelektual dunia Islam pada abad ke-17 hingga ke-19. Dalam catatan Belanda, Kasunyatan sering disebut-sebut sebagai negeri yang paling terkenal sebagai pusat intelektual dan spiritualitas Kesultanan Banten. Selama periode tersebut, ilmu agama berkembang pesat, kesadaran intelektual masyarakat meningkat, dan tarekat-tarekat Islam mendapat tempat yang penting. Banten, dengan Kasunyatan sebagai jantungnya, dikenal luas di kalangan masyarakat Asia Tenggara sebagai pusat pendidikan dan spiritualitas Islam yang terkemuka.
Banten sebagai Pusat Ulama
Banten bukan hanya terkenal sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi, tetapi juga sebagai tempat berkumpulnya ulama-ulama besar yang memainkan peran penting dalam penyebaran dan pengajaran Islam di Nusantara. Salah satu ulama yang sangat terkenal yang pernah berlabuh di Banten adalah Syekh Yusuf al-Makassari. Beliau, seorang ulama dan mursyid tarekat Syattariyah yang berasal dari Makassar, datang ke Banten pada masa Sultan Abul Fath Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa). Di Banten, Syekh Yusuf berperan besar dalam mengajarkan tarekat dan memperkenalkan ajaran tasawuf yang mempengaruhi banyak kalangan, termasuk para penguasa dan masyarakat.
Selain Syekh Yusuf, Banten juga menjadi tempat tinggal bagi ulama-ulama besar lainnya, seperti Syekh Abdul Muhyi dan Syekh Nawawi al-Bantani. Syekh Abdul Muhyi, yang dikenal sebagai seorang ahli fikih dan tasawuf, banyak memberikan pengajaran kepada para santri di Banten. Ia memiliki banyak murid yang tersebar di berbagai daerah, memperluas pengaruh dan penyebaran ilmu Islam, baik di Jawa maupun Sumatra. Sementara itu, Syekh Nawawi al-Bantani, seorang ulama yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam ilmu fikih dan tafsir, menjadi sosok yang dihormati di kalangan masyarakat Banten dan sekitarnya. Karya-karya tulisannya yang berharga juga turut mewarnai perkembangan intelektual Islam di Nusantara.
Peran Banten sebagai tempat berkumpulnya ulama ini sangat strategis, mengingat posisinya yang berada di persimpangan jalur perdagangan antara Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Hal ini menjadikan Banten sebagai melting pot budaya dan ilmu pengetahuan, yang menghubungkan berbagai tradisi intelektual Islam dari dunia Arab, Persia, dan India dengan budaya lokal Nusantara. Banyak di antara ulama yang datang ke Banten kemudian menyebarkan ajaran mereka ke wilayah lain, menciptakan jaringan pendidikan yang menghubungkan pesantren-pesantren di Jawa, Sumatra, bahkan ke Malaysia dan Singapura.
Dengan demikian, Banten bukan hanya sebagai pusat kekuatan politik dan ekonomi, tetapi juga sebagai pusat intelektual yang sangat penting dalam perkembangan peradaban Islam di Asia Tenggara. Kehadiran ulama-ulama besar dan tersebarnya ajaran mereka ke berbagai daerah menjadikan Banten sebagai pusat pertukaran ilmu dan memperluas jaringan intelektual Islam yang berkembang pesat pada abad ke-17.
Dari ketiga aspek ini—Kasunyatan sebagai pusat pendidikan, produktivitas intelektual Sultan Abdul Qadir, dan peran para ulama besar—Banten memang layak disebut kota ilmu. Tradisi intelektual yang berkembang di sana mencakup berbagai aspek, mulai dari ilmu agama hingga kebudayaan dan kehidupan sehari-hari. Dengan warisan yang kaya, Banten telah memberikan kontribusi besar bagi peradaban Islam di Nusantara, mengajarkan bagaimana ilmu pengetahuan akan terus tumbuh melalui keterbukaan terhadap pengaruh dan inovasi baru. Inilah tugas yang harus dilanjutkan oleh generasi muda Banten saat ini.
Sumber:
Lapian, Andrian B. (2017). Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Edisi kedua. Depok: Komunitas Bambu.
Suardi, Jemmy Ibnu. 2024. Sultan Abu’l Mafakhir Mahmud Abdul Qadir: Sultan Agung Banten I Penguasa Ujung Barat Pulau Jawa 1596-1651.
Suhaemi, Hamdan. 2023. “Sejarah Kasunyatan, Pusat Pendidikan Islam Kesultanan Banten”. https://banten.nu.or.id/banten-raya/sejarah-kasunyatan-pusat-pendidikan-islam-kesultanan-banten-sgoRu, akses kamis, 14/11/2024.H