Bahasa Arab Kunci Ilmu Pengetahuan

Bahasa Arab memainkan peran penting sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan kunci untuk memahami beragam literatur Islam. Pakar kontemporer seperti Mohd. Alwee Yusoff dan Mohamad Azrien Mohamed Adnan (2008) dari Universitas Malaya dalam “Bahasa Arab Sebagai Bahasa Ilmu dan Peradaban: Satu Kajian dari Sudut Keistimewaannya” (Jurnal Usuluddin, vol.27) menyoroti bahwa keunggulan bahasa Arab terletak pada aspek morfologi, semantik, dan sintaksisnya. Pengaruh besar bahasa Arab terhadap perkembangan perbendaharaan kata dalam bahasa-bahasa umat Islam menjadikannya sarana penting untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam.

Dr. Saepul Anwar, pengajar bahasa Arab di Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza dan pakar di bidang filologi, juga menegaskan pentingnya bahasa Arab sebagai bahasa ilmu pengetahuan Islam. Ia pun mengungkapkan, motivasi awalnya tertarik pada bahasa Arab adalah untuk menggali ilmu pengetahuan yang bersumber dari al-Qur’an, hadis, dan karya-karya para ulama.

Dr. Saepul mengisahkan bagaimana ia memikirkan manhaj kehidupannya sebagai seorang muslim. Ia diajarkan oleh keluarganya bahwa sebagai seorang Muslim, manhaj kehidupannya harus bersumber dari al-Qur’an dan hadis. “Namun, mengapa banyak orang perilaku hidupnya tidak mencerminkan al-Qur’an dan hadis? Karena tidak utuh. Aksesnya terhadap literaturnya juga kurang,” jelasnya.

“Ada Tarikh al-Thabari misalnya, itu kan data-data yang menggambarkan kehidupan generasi awal, dan itu berbahasa Arab. Kalau tidak mengerti bahasa Arab, bagaimana mengakses itu. Nah, itulah awalnya saya tertarik dengan bahasa Arab, untuk mengakses ilmu pengetahuan. Karena tanpa bahasa Arab tidak akan bisa,” sambungnya.

Menurut Dr. Saepul, literatur Islam sangat banyak, namun kita sering mengaksesnya melalui bahasa perantara. Misalnya, karya-karya orang Barat dalam studi Islam biasanya merujuk pada kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Hasil karya mereka kemudian kita pelajari, padahal rujukan utama mereka adalah literatur berbahasa Arab. Hal ini tidak hanya terjadi dalam kajian Islam, tetapi juga dalam ilmu umum seperti kedokteran. Banyak karya kedokteran Barat yang merujuk pada karya Ibn Sina, seperti al-Qanun fi al-Thib. Namun, karya-karya tersebut dipelajari dalam bahasa Inggris atau Prancis. “Padahal, mereka mengutip dari Ibn Sina yang menulis kitab kedokterannya dalam bahasa Arab,” ujarnya.

Orang-orang seperti Snouck Hurgronje mempelajari literatur Islam dengan meneliti naskah-naskah berbahasa Arab. Tulisan-tulisan Snouck pun diarsipkan dengan baik. “Nah, mereka itu menghargai literatur tersebut. Sementara kita, mohon maaf, ketika kiai menulis di atas kertas, di mana arsipnya?” ujar Dr. Saepul.

“Sekarang hal itu mungkin dianggap tidak berharga, tapi untuk generasi selanjutnya menjadi catatan sejarah,” lanjutnya.

Sumber-sumber tertulis semacam itu, jelas Dr. Saepul, sangat dihargai dalam bidang penelitian. Para orientalis, misalnya, mengkritik hadis karena tidak ada sumber tertulis terkait hadis Nabi di masa generasi awal, yang masih berupa tradisi lisan dan hafalan, meskipun beberapa generasi kemudian mulai dituliskan. Hal ini menunjukkan bahwa para sejarawan Barat sangat menghargai sumber-sumber tertulis.

Dalam perkembangan selanjutnya, kita memiliki kekayaan literatur tertulis dalam berbagai disiplin ilmu. Jika kita tidak menguasai bahasa Arab, bagaimana kita akan memahami sumber-sumber yang begitu melimpah itu?

“Jadi, anak-anak di pesantren di arahkan untuk bisa berbahasa Arab agar mampu menggali ilmu pengetahuan dari sumber-sumber primer berbahasa Arab. Kemudian meneladani ulama-ulama kita dulu. Mereka itu kan hebat dalam berbahasa Arab, seperti Syekh Nawawi al-Bantani. Sehingga Islam itu universal, yang paham Islam itu tidak selalu orang Arab,” ungkapnya.

Dr. Saepul juga menjelaskan bahwa dalam dunia akademik, bahasa yang digunakan adalah Arab fushâ, yang secara genealogis berasa dari Quraisy keturunan Bani Qatthan. Ini menjadi lughah musytarakah. Meskipun dalam masyarakat memiliki aksen (lahjah) yang berbeda, yang menyatukan itu adalah bahasa Arab fusha dan digunakan dalam bidang akademik, seperti dalam menulis jurnal, bukan Arab-Turki, Arab-Sudan, atau Arab-Maroko.

Skip to content