Semakin banyak anak yang menunjukkan sikap tertutup, enggan berbagi atau berterus terang mengenai masalah yang mereka hadapi. Fenomena ini memunculkan kekhawatiran di kalangan orang tua dan pendidik, mengingat keterbukaan adalah kunci penting dalam perkembangan emosional dan mental anak. Ketidakmauan anak untuk berbicara tentang perasaan dan kesulitan mereka sering kali membuat masalah menjadi lebih kompleks, sehingga memerlukan pendekatan yang lebih empatik.
Menurut Ustazah Maufurotus Shofuhah, saat wawancara pada Ahad (4/82024) ada beberapa faktor yang menyebabkan anak bersikap tertutup dan sulit berbicara terus terang. Pertama, pengalaman negatif sebelumnya. Anak mungkin pernah mengalami perlakuan negatif saat berbicara jujur, seperti dihukum atau diabaikan.
Kedua, rasa takut atau cemas. Misalnya, ketakutan terhadap penilaian, kritik, atau ketidakpahaman dari orang lain sehingga membuat anak enggan untuk berbicara.
Ketiga, kurangnya keterampilan komunikasi. Anak mungkin belum belajar cara yang tepat untuk mengungkapkan perasaan atau pikirannya.
Keempat, pengaruh teman sebaya. Misalnya, anak mendapat tekanan dari teman sebaya, hal ini juga dapat memengaruhi cara anak dalam berkomunikasi.
Peran lingkungan keluarga dalam mempengaruhi keterbukaan komunikasi anak sangat besar. Ustazah Ema (sapaan akrabnya) menjelaskan empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, model perilaku. Anak akan meniru cara orang tua atau anggota keluarga lain dalam berkomunikasi. Jika orang tua terbuka dan jujur, anak cenderung meniru sikap tersebut, begitu juga sebaliknya.
Kedua, dukungan emosional. Lingkungan yang penuh dukungan membuat anak merasa lebih aman dan nyaman dalam berbagi perasaan atau kekhawatiran.
Ketiga, komunikasi terbuka. Keluarga yang sering melakukan dialog terbuka menciptakan kebiasaan komunikasi yang baik.
Keempat, keberadaan aturan dan konsekuensi. Peraturan yang jelas tentang komunikasi, termasuk bagaimana menanggapi kesalahan atau perasaan, membantu anak merasa lebih nyaman berbicara.
Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan metode atau pendekatan yang tepat agar anak mau terbuka dan bersedia untuk mengungkapkan masalah mereka. Hal ini dapat diterapkan oleh orang tua untuk membantu anak merasa lebih nyaman dan aman berbicara jujur. Ustazah Ema menyarankan lima pendekatan yang efektif.
Pertama, menciptakan lingkungan yang mendukung. Orang tua atau guru dapat memberikan dukungan emosional dan mendorong anak untuk berbicara tanpa merasa takut akan konsekuensi negatif.
Kedua, mendengarkan dengan empati. Saat anak berbicara, sebaiknya orang tua atau guru menunjukkan minat dan perhatian, hindari menyela anak di tengah pembicaraannya, serta berikan tanggapan yang mendukung.
Ketiga, memberikan pujian dan penguatan positif. Beri pujian saat anak berbicara jujur dan tunjukkan apresiasi terhadap usaha mereka.
Keempat, mengajarkan keterampilan komunikasi. Latih anak untuk menyampaikan perasaan dan pikiran mereka dengan cara yang membangun.
Kelima, menetapkan waktu khusus untuk berbicara. Orang tua dan guru dapat menyepakati waktu khusus untuk berdiskusi dengan anak tentang perasaan dan pengalaman mereka, misalnya sebelum tidur atau saat berkendara bersama.
“Semoga dengan menerapkan strategi-strategi ini, orang tua atau guru dapat membantu anak merasa lebih percaya diri dan nyaman dalam berbicara jujur,” pungkasnya.