AI dalam Pendidikan: Masalah Etika dan Tanggung Jawab Akademik

Teknologi artificial intelligence (AI) kini semakin luas digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat. Manfaatnya memang nyata—memudahkan penyelesaian tugas dengan cepat, efisien, dan canggih. Sayangnya, meskipun AI banyak digunakan, diskusi mengenai tanggung jawab dan etika penggunaannya masih minim. Seolah-olah prinsip yang dipegang adalah, “gunakan dulu, rasakan manfaatnya, dampak negatifnya pikirkan belakangan.” Ini kebiasaan buruk yang sering kali menjebak kita, mirip dengan cara kita memanfaatkan berbagai platform media sosial. Padahal, ketika sudah terbiasa atau bahkan kecanduan, orang seringkali tak lagi memikirkan dampak negatifnya. Sungguh sikap menyepelekan yang sangat buruk.

Dunia pendidikan seharusnya berada di garis depan dalam membahas isu ini dan merespons dengan cepat terkait kebijakan yang perlu diambil. Jangan sampai masyarakat terlalu asyik dengan “kesenangan” ini, lalu terlambat diingatkan akan dampak-dampaknya. Masyarakat, apalagi generasi Z atau generasi strawberry, tidak mau dibilang bodoh, mereka merasa pintar, meskipun kenyataanya gampang terbawa arus.

Dunia Pendidikan Harus Cepat Tanggap

Teknologi AI, khususnya Generative AI, telah menciptakan perubahan besar dalam dunia pendidikan, membuka peluang baru untuk inovasi dalam pembelajaran dan administrasi. Namun, kecanggihan ini membawa ekses negatif yang tak bisa dianggap enteng. Seiring dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan, muncul pertanyaan mendasar tentang integritas, keaslian, dan tanggung jawab yang melingkupi setiap hasil yang dicapai oleh teknologi tersebut.

Pertanyaan ini sangat mendesak dan harus segera ditanggapi oleh dunia pendidikan, karena permasalahannya menyentuh esensi pendidikan itu sendiri sebagai upaya mengembangkan manusia seutuhnya. Dalam proses ini, kemampuan berpikir kritis, melakukan analisis mendalam, dan memecahkan masalah bisa terancam—berpotensi tergantikan oleh kemalasan, yang pada akhirnya berujung pada kebodohan.

Dalam dokumen tahun 2022, Recommendations on the Ethics of Artificial Intelligence, UNESCO menyerukan kepada dunia untuk menggunakan AI dengan etis dan bertanggung jawab. Ini menjadi peringatan agar kita tidak larut dalam kemudahan yang diciptakan oleh mesin, sehingga lupa pada akar nilai dan norma akademik.

Dalam kata pengantar Buku Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi (2024) Abdul Haris, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, menekankan perlunya berpegang pada nilai-nilai etis agar kreativitas yang muncul dari proses belajar akan tetap memiliki karakter dan orisinalitas.

Menimbang Manfaat dan Risiko AI dalam Pendidikan

Penggunaan teknologi memang selalu menimbulkan paradoks. Dan memang selalu begitu dalam setiap pemanfaatan teknologi dalam sejarah umat manusia. Sejak ditemukannya bubuk mesiu, senjata, teknologi nuklir, hingga komputer, manusia selalu dihadapkan pada paradoks dan dilema moral, yang tidak hanya menyangkut makna kehidupan manusia tetapi juga kelangsungan eksistensinya di muka bumi.

Generative AI memungkinkan kita menciptakan tulisan, gambar, hingga video secara otomatis dan cepat. Namun, di balik kecanggihan itu ada risiko besar. Sri Suning Kusumawardani, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, mengingatkan kita bahwa ketergantungan pada AI berpotensi menurunkan kemampuan berpikir kritis dan kreativitas mahasiswa—dua pilar yang seharusnya menjadi fondasi pendidikan tinggi. Ketika mesin semakin mendominasi proses kreatif, manusia berpotensi kehilangan daya cipta dan kapasitas reflektif yang menjadikan pembelajaran sebuah perjalanan penuh makna.

Lebih jauh, Generative AI memunculkan persoalan serius tentang akurasi, bias, dan privasi. Dalam panduan Guidelines for Use of Generative AI in Teaching and Learning dari UNESCO, disebutkan bahwa AI sering kali menghasilkan informasi yang tidak akurat dan sulit diverifikasi. Model seperti ChatGPT bahkan diketahui bisa menciptakan “halusinasi,” mengarang sesuatu yang tidak pernah ada, menciptakan risiko misinformasi yang bisa menyesatkan. Selain itu, data yang digunakan AI dalam pembelajarannya kerap kali membawa bias inheren, merefleksikan kecenderungan dari data yang dipakai, dan membuat hasil yang dihasilkan juga tidak bebas dari bias. Ini menjadi kekhawatiran mendasar, mengingat banyak keputusan penting di era ini yang mulai dipengaruhi oleh hasil-hasil dari sistem AI.

Perlu Literasi AI

Kehadiran AI dalam pendidikan menuntut pembaruan konsep literasi. Bukan hanya soal bagaimana menggunakan teknologi, tetapi lebih dalam lagi, bagaimana memahami batasan, risiko, dan tanggung jawab dalam interaksi dengan AI. Meski kita memahami manfaatnya, namun rasa khawatir tetap besar, terutama mengingat karakter Generasi Z atau generasi “strawberry” yang literasinya belum kokoh, cenderung menginginkan segala sesuatu serba cepat dan mudah. Mereka pun masih labil dan rentan terbawa arus. Inilah sebabnya peran dunia pendidikan sangat penting untuk memberikan arahan yang tepat dalam penggunaan AI.

Dalam hal ini, UNESCO merumuskan lima komponen utama literasi AI yang mencakup pemahaman konsep AI, keamanan, serta kesadaran akan potensi dampaknya pada emosi manusia. Literasi ini juga menuntut pemahaman mendalam tentang privasi dan perlindungan data pribadi, mengingat betapa banyak data yang bisa diserap dan diproses oleh AI tanpa disadari penggunanya. Pengguna perlu memahami bahwa di balik kemudahan yang diberikan AI, ada konsekuensi dari setiap data yang mereka berikan.

UNESCO juga menyoroti empat prinsip penting: integritas akademik, keamanan data, kesetaraan, dan dampak lingkungan. Teknologi ini memang memberi manfaat bagi siswa untuk belajar lebih cepat, tetapi ada bahaya yang tidak bisa kita abaikan. Pendidikan bukan sekadar soal hasil; pendidikan adalah proses yang membentuk cara berpikir, etika, dan karakter.

Apakah Generative AI bisa menjadi bagian dari proses yang demikian kompleks dan mendalam? Bagaimana kita memastikan bahwa pelajar dan institusi pendidikan tidak tergelincir dalam ketergantungan, sehingga keaslian dalam berpikir dan berkreasi menjadi taruhannya?

Kembali Pada Hakikat Pendidikan

Sebagaimana disebutkan dalam Buku Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi (2024), ada beberapa langkah penting yang perlu dijalankan. Pertama, pembinaan literasi AI, baik bagi siswa, pendidik, maupun staf pendidik. Literasi ini harus melampaui pengetahuan teknis dan mencakup aspek-aspek etis, keamanan data, serta potensi kesalahan AI.

Kedua, pemerintah dan institusi perlu menerapkan regulasi konkret untuk memastikan bahwa penggunaan AI di ranah pendidikan tidak disalahgunakan. Perlu ada batasan yang jelas tentang kapan dan bagaimana AI boleh dipakai, serta sanksi yang sesuai bagi pihak yang menyalahgunakannya.

Ketiga, proses pembelajaran itu sendiri perlu bertransformasi, dengan menempatkan AI sebagai alat bantu yang memperkaya pengalaman belajar, bukan sebagai pengganti guru atau sumber utama pengetahuan.

Akhirnya, kita memang tidak bisa menutup mata dengan perkembangan teknologi–meskipun di situlah letak dilemanya. Kita bisa memilih untuk menerima AI sebagai alat yang memperluas kemampuan manusia, atau asyik dengan ilusi kemudahan yang ditawarkan mesin.

Harus selalu kita sadari, pendidikan yang sejati tidak bisa diukur dari kecepatan atau kepraktisan, melainkan dari keberhasilan dalam membentuk manusia yang berpikir kritis, mampu berinovasi, dan menjaga integritas. Ada proses pendidikan akhlak, seperti jujur, tanggung jawab, dan empati yang tak tergantikan. Bahkan itulahh yang utama.

Teknologi memang menawarkan masa depan yang cemerlang, tetapi hanya jika kita, para penggunanya, tetap memegang teguh nilai-nilai yang melampaui kecanggihan mesin. Dalam dunia yang semakin dikuasai oleh algoritma, kita ditantang untuk tetap berpegang pada akal sehat, karena hanya itulah yang akan menjaga kemanusiaan kita tetap utuh.

Sumber

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi. 2024. Buku Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.

Skip to content