Imam Syafi’i adalah sosok istimewa dalam sejarah pemikiran Islam yang memiliki kemampuan langka: bukan hanya menghafal nash al-Qur’an dan hadis dengan sempurna, tetapi juga memahami setiap lapis makna dan substansi di baliknya. Beliau tidak berhenti pada hafalan semata; ia mendekati teks-teks suci dengan penalaran yang mendalam, menjelajahi hikmah dan relevansi hukum-hukum Ilahi dalam berbagai konteks kehidupan.
Keistimewaan Imam Syafi’i menjadikannya berbeda dari banyak ulama sezamannya, yang biasanya terfokus pada satu aspek—baik hafalan ataupun penalaran. Imam Syafi’i menggabungkan kedua unsur ini, menyelaraskan kesetiaan terhadap tradisi dengan kecerdasan nalar, yang menjadikan pemikirannya relevan dan hidup. Ia menyeimbangkan antara teks suci dan logika, memberikan kontribusi penting bagi pembentukan metodologi ilmu keislaman, khususnya fiqh dan ushul al-fiqh.
Keistimewaan al-Risâlah
Imam Syafi’i adalah figur sentral dalam sejarah pemikiran hukum Islam. Al-Risâlah fi Ushul al-Fiqh, merupakan karya pertama dalam bahasa Arab yang menyusun dasar-dasar teori hukum secara sistematis—terutama dalam aspek interpretasi teks, epistemologi hukum, dan metode penalaran hukum (ijtihad) dalam Islam.
Di dalam al–Risâlah, jelas Joseph Lowry dalam Early Islamic Legal Theory (2007) Imam Syafi’i menetapkan prinsip-prinsip yang hingga saat ini menjadi landasan utama dalam ushul al-fiqh. Karyanya tidak hanya menegaskan pentingnya hadis sebagai sumber hukum, tetapi juga merumuskan metode yang ketat untuk menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah. Ia enekankan pentingnya analogi hukum (qiyas) dan menguraikan cara-cara membedakan yang sahih dan yang tidak sahih dalam penggunaan dalil-dalil ini. Pendekatannya berhasil menyusun sebuah sistem yang memungkinkan hukum Islam berkembang dalam kerangka yang sistematis namun fleksibel, memungkinkan respons terhadap perubahan zaman tanpa mengabaikan prinsip-prinsip fundamental agama.
Antara Logika dan Teks
Imam Syafi’i menjadi ulama besar dalam ilmu fikih yang menyeimbangkan dua kutub besar dalam dunia ilmu Islam pada masanya: antara rasionalitas dan tradisi. Dalam diri Imam Syafi’i, bertemu kekuatan hafalan yang luar biasa atas nash-nash al-Qur’an dan hadis dengan kecerdasan logis yang tajam dalam menalar makna serta substansi dari teks-teks suci tersebut.
Sebagaimana disampaikan oleh Ar-Razi, sebelum munculnya Imam Syafi’i, ulama di dunia Islam terbagi ke dalam dua kelompok: Ahlul Hadits dan Ahlur Ra’yi. Ahlul Hadits adalah mereka yang sangat mahir dalam menghafal hadis-hadis Nabi Muhammad, tetapi mereka kurang mendalam dalam hal logika, opini, atau kemampuan berargumentasi. Mereka, seringkali, terlihat kebingungan atau lemah ketika dihadapkan pada persoalan yang memerlukan penalaran mendalam. Sementara itu, Ahlur Ra’yi adalah mereka yang ahli dalam berdebat dan menyusun argumen, namun tidak terlalu kokoh dalam pengetahuan tentang hadis dan atsar Rasulullah. Kedua kelompok ini seolah-olah saling berhadapan dalam dunia pemikiran Islam pada masa itu.
Imam Syafi’i muncul di tengah-tengah perseteruan ini dengan membawa pendekatan yang memadukan keunggulan kedua belah pihak. Beliau bukan hanya hafal hadis-hadis Rasulullah, tetapi juga mendalami maknanya, memahami substansinya, dan mengetahui bagaimana menerapkan teks-teks tersebut dalam konteks kehidupan nyata. Dalam berbagai kesempatan, Imam Syafi’i menunjukkan bahwa seseorang bisa sangat memegang teguh tradisi, namun sekaligus berpikir rasional dan logis dalam mengkaji teks-teks suci.
Kisah Ar-Razi mencatat bahwa Imam Syafi’i memiliki kelebihan dalam berdebat yang langka, dengan hujjah yang jelas dan adab berpendapat yang tinggi. Setiap kali ia menghadapi suatu pertanyaan atau persoalan hukum, beliau mampu menjawabnya dengan ketajaman argumen yang komprehensif dan memadai. Hal ini menjadikan Imam Syafi’i sebagai sosok penengah yang mampu menyeimbangkan perdebatan antara Ahlul Hadits dan Ahlur Ra’yi. Kehadirannya tidak hanya memperkaya diskusi, tetapi juga meredam dominasi Ahlur Ra’yi atas Ahlul Hadits. Dengan demikian, Imam Syafi’i bukan hanya menawarkan sebuah pendekatan baru, tetapi membentuk landasan bagi sebuah metodologi yang kelak diikuti oleh generasi ulama setelahnya.
Keberhasilan Imam Syafi’i dalam menyeimbangkan rasionalitas dan tradisi inilah yang membuat beliau dihormati dan dicintai oleh berbagai kalangan–termasuk adabnya yang mulia dalam beedebat. Metodologinya dalam fikih, yang kelak dikenal sebagai mazhb Syafi’i, tidak hanya diterima secara luas tetapi juga menjadi rujukan penting di berbagai wilayah Muslim. Penghormatan terhadap teks suci al-Qur’an dan hadis tetap menjadi pilar utama, namun tidak meninggalkan kedalaman logika dan kemampuan analisis dalam memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Imam Syafi’i adalah cerminan dari ulama yang tidak hanya berbekal hafalan semata, tetapi juga pemahaman mendalam tentang hakikat dari ajaran Islam. Bagi beliau, rasionalitas bukanlah sekadar alat, melainkan sarana untuk lebih memahami pesan Tuhan dalam teks-teks yang suci. Begitulah Imam Syafi’i—sosok penyeimbang yang menghubungkan nalar dan iman, rasionalitas dan tradisi.
Daftar Pustaka
Asy-Syinawi, Abdul Aziz. 2022. Biografi Imam Mazhab. Solo: Aqwam.
Lowry, Joseph E. 2013. The Epistle on Legal Theory: Muḥammad ibn Idrīs al-Shāfiʿī. New York: New York University Press.
————–, 2007. Early Islamic Legal Theory: The Risala of Muhammad Ibn Idris Al-shafi-i. Leiden: Brill.