Teladan Rasulullah Saw. Sebagai Ahl al-Ziyâdah : Integrasi Akhlak, Ilmu, dan Peradaban

Rasulullah saw. adalah teladan utama bagi nilai Ahl al-Ziyâdah di Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza. Menurut Ustaz Ahmad Nizamuddin Qisti, nilai Ahl al-Ziyâdah yang selalu ditekankan oleh Mudir al-Ma’had mencakup tiga karakteristik utama: Mutakhalliq (berakhlak), Muta’allim (terpelajar), dan Mutamaddin (berperadaban).

Akhlak dan Ilmu Tak Terpisahkan

Ustaz Nizam menekankan bahwa dalam kehidupan Rasulullah saw., akhlak dan ilmu bukanlah dua hal yang terpisah. “Kalau menilik sejarah hidup Rasulullah saw., kita tidak mendapatkan bahwa akhlak diajarkan terpisah dari ilmu. Justru, dua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Artinya, tidak ada dikotomi antara ilmu pengetahuan dan akhlak. Bahkan, untuk berakhlak, ada ilmunya. Ilmu akhlak. Ilmu adab. Sumbernya, jelas Rasulullah saw. sebagai manusia yang langsung mendapat lisensi sebagai insan berakhlak mulia dari Allah Swt.,” ujar Ustaz Nizam.

Lebih lanjut, Ustaz Nizam juga menekankan pentingnya membedakan antara adab dan adat. “Kemudian, kita juga mesti memisahkan antara adab dan adat. Sebab, barang kali, yang kita kira adab, padahal adat. Dua hal ini merupakan hal yang jauh berbeda. Adab, Rasulullah gurunya, yang ilmunya diwariskan kepada generasi setelahnya. Adapun adat, bisa dari mana saja. Biasanya merupakan kesepakatan warga setempat,” jelasnya.

“Misalnya saja, dalam Shahih Bukhari, ada hadis yang mengisahkan tentang seseorang yang berdiri bertanya kepada Rasulullah yang sedang duduk. Sebelum saya lanjutkan, pasti kita akan berpikir bahwa seharusnya sahabat yang bertanya itu duduk. Sebab Rasulullah sedang duduk. Tapi redaksinya menarasikan bahwa Rasulullah yang berdiri. Subhanallah. Benar saja Allah mencapnya sebagai manusia berakhlak mulia. Nah seperti itu kira-kira,” tambahnya.

Ilmu dan Akhlak Mewujudkan Peradaban

Dalam konteks pendidikan pesantren, Ustaz Nizam menjelaskan bahwa Mutakhalliq (berakhlak) dan Mutaallim (terpelajar) adalah dua proses yang harus berjalan beriringan. “Jadi, Mutakhalliq dan Muta’allim bukan dua proses yang berjarak. Melainkan dua hal yang mesti jalan beriringan. Berakhlak harus berilmu. Berilmu harus berakhlak. Sehingga tidak ada ungkapan bahwa orang beradab lebih baik daripada orang berilmu. Sebab yang Allah angkat tinggi derajatnya dalam surat Al-Mujadalah ayat 11 adalah orang berilmu. Tidak disebutkan orang beradab. Karena yang benar-benar berilmu harusnya beradab,” tegasnya.

Karakteristik selanjutnya dari Ahl al-Ziyâdah, yaitu Mutamaddin (berperadaban), adalah buah dari proses Mutakhalliq dan Muta’allim. Ustaz Nizam menjelaskan bahwa santri yang telah berhasil memadukan akhlak dan ilmu dalam dirinya akan menjadi pribadi yang berperadaban tinggi. “Kedua kriteria ini, jika sudah ada pada diri seorang santri, akan secata otomatis menciptakan generasi yang berperadaban. Dengan demikian, Mutamaddin merupakan hasil daripada proses Mutakhalliq dan Mutaallim,” tutupnya.