Sastra Distopia Sebagai Katalisator Konservatisme Lingkungan: Mimpi Buruk atau Wasiat Masa Depan?
Tentang

Esai ini dinobatkan sebagai salah satu esai kategori top 10 dalam Kompetisi Esai Nasional 2023 yang diselenggarakan oleh Unit Penalaran Ilmiah  HUMANIKA Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada pada Desember 2023

Manusia dan alam. Kedua entitas ini memiliki korelasi holistik—tidak parsial—karena di antara keduanya memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya (Ruslan, 2018).  Menurut perspektif Richard Louv dalam bukunya “The Nature Principle: Human Restoration and the End of Nature-Deficit Disorder” membahas konsep ‘Nature-Deficit Disorder’ dan mengadvokasi pentingnya kembali berhubungan dengan alam untuk kesejahteraan manusia. Dari sudut pandang Biologi, “The Diversity of Life” karya Edward O. Wilson mengupas tuntas peran manusia dalam menjaga keragaman hayati di planet ini.

Darwin, menyatakan bahwa manusia merupakan bagian dari produk evolusi. Sedangkan kaum antroposentris membantahnya dengan menyatakan bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta. Pengaruh pandangan antroposentris, sering kali dimaknai sebagai ideologi modernisme yang tercermin melalui penempatan manusia sebagai pusat alam semesta (Febriyani, 2017). Sementara alam dilihat hanya sebagai sumber material, yang dapat mendorong eksploitasi berlebihan terhadap lingkungan. Alfred North Whitehead seorang filsuf justru memandang manusia sebagai manifestasi alam dalam skop mini, atau biasa disebut sebagai mikrokosmos sedangkan alam semesta merupakan makrokosmos (Aryatnaya Giri et al., 2021).

Pandangan antroposentris memiliki variasi yang luas. Generalisasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Di ujung spektrum, beberapa mendukung pendekatan ini karena melihat manfaat jangka panjang bagi manusia dalam menjaga alam, meskipun biasanya lebih menekankan kepentingan manusia daripada lingkungan (Fatimahsyam, 2018).

Ketahanan hidup manusia saat ini menghadapi risiko yang serius karena eskalasi krisis lingkungan yang semakin memburuk (Santosa & Heriyanto, 2023). Lingkungan sendiri bermakna segala sesuatu yang mengelilingi (which surrounds) (Arnold, 2013). Menurut (Plumwood, 2005) ketika kita terlalu memisahkan diri (hyper-separate) dari alam serta mereduksinya secara konseptual demi mengikuti hegemoni mayoritas, kita akan kehilangan kemampuan berempati untuk melihat lingkungan dari sudut pandang etika. Mungkin, kita cenderung merasa lebih otonom—sebagai pemegang otoritas—dari pada yang sebenarnya kemudian meremehkan hubungan mutualisme dengan lingkungan. Sebab alam tidak bisa dilihat hanya sebagai alat atau sumber daya. Persepsi semacam ini akan cenderung membuat kita mengeksploitasi alam tanpa etika yang hanya akan menimbulkan dampak negatif pada ekosistem.

Kegagalan dalam pemahaman ini dapat merusak persepsi hubungan antara manusia dan alam, dan dampaknya bisa berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini dapat mengurangi kesadaran kita tentang ketergantungan dan interkoneksi, yang pada akhirnya berpotensi membawa risiko, karena manusia adalah bagian integral dari lingkungan, bukan entitas yang berdiri sendiri. Pandangan ini tercermin dalam karya klasik tentang lingkungan dan ekologi, “A Sand County Almanac” karya Aldo Leopold. Leopold merinci filosofi ekologi dan etika lingkungan, serta bagaimana manusia seharusnya menghargai peran mereka sebagai komponen alam yang saling terhubung.

Buku “The World Without Us” karya Alan Weisman menggambarkan pandangan mendalam tentang dunia setelah manusia. Ia menggambarkan bagaimana kehidupan manusia dan pengaruhnya berlanjut setelah manusia menghilang. Konsepnya mencerminkan pandangan yang telah diusulkan oleh banyak ahli dan teori selama beberapa dekade, bahwa suatu saat manusia atau dunia akan memasuki era pasca-manusia. Pandangan ini menggugah kesadaran bahwa manusia bukanlah pusat alam semesta, melainkan bagian dari ekosistem yang lebih besar. Posthumanisme mengingatkan kita tentang betapa rentannya keberlanjutan kehidupan di Bumi tanpa campur tangan manusia. Pertanyaan mendasar muncul, apakah kita adalah dunia itu sendiri atau hanya salah satu komponennya? Sedangkan kita mengetahui bahwa kita adalah entitas yang terkait erat dengan dunia ini, dan tubuh kita sendiri adalah sebuah ekosistem yang saling berhubungan (Feder, 2014).

Posthumanisme menantang pandangan esensialisme tentang manusia dan mendorong pengakuan bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem yang lebih besar. Dalam buku “How We Became Posthuman,” N. Katherine Hayles mengidentifikasi dualitas dalam konsep posthumanisme yang mencakup upaya untuk mengabaikan tubuh dan materialitas serta menciptakan fantasi disembodiment, yang menekankan realitas virtual dan aspek robotik. Ini merupakan tantangan terhadap pandangan individualitas dan kebebasan dalam humanisme liberal (Hayles, 2013). Teoretis posthumanisme dan menghadirkan konsep ‘ekologi perbaikan’ sebagai alat heuristik untuk memahami hubungan antara berbagai entitas. Melalui restrukturisasi praktik dan tindakan bersama, upaya perbaikan dan transformasi dapat diciptakan dalam ekologi dan komunitas yang mengalami kerusakan untuk mengkaji cara entitas-entitas yang berbeda berhubungan satu sama lain (Blanco-Wells, 2021).

Istilah “ekologi” pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Jerman Ernst Haeckel pada tahun 1866. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “oikos,” yang berarti ‘rumah,’ dan digunakan untuk menggambarkan hubungan antara organisme dan lingkungannya (Patrick Curry, 2006). Etika ekologi menganggap bahwa alam atau lingkungan memiliki peran pusat, namun in  i tidak menggantikan etika tradisional yang bersifat antroposentris dan menempatkan manusia dalam posisi penting dalam hubungan antar manusia dan ekosistem (Arnold, 2013).

Pendapat Greg Garrard berbeda, di mana ia menyatakan bahwa isu-isu ekologi lebih berfokus pada aspek ilmiah daripada analisis budaya. Bagi Garrard, ekokritik melibatkan pemahaman tentang hubungan antara manusia dan non-manusia sepanjang sejarah budaya manusia, sambil secara kritis menganalisis konsep “manusia” itu sendiri. Buell, dalam pandangan yang serupa, menggambarkan manusia sebagai makhluk yang menggunakan teknologi sebagai produk dari evolusi, menekankan bahwa bahkan teknologi yang paling canggih adalah hasil dari transformasi bahan-bahan alam sesuai dengan hukum fisika.

Umumnya, ekologi sering kali dianggap sebagai sesuatu yang sederhana dan praktis—sebagai ilmu pengetahuan dan kebijakan sosial—terkait dengan isu-isu seperti pemanasan global, daur ulang, dan tenaga surya (Timothy Morton, 2010). Secara praktis, ekologi lebih banyak berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari antara manusia dan makhluk non-manusia seperti yang dikatakan penyair Percy Shelley, “We want the creative faculty to imagine that which we know” (kita perlu memiliki kemampuan kreatif untuk membayangkan hal-hal yang sudah kita ketahui). Pernyataan ini menegaskan bahwa ekologi, meskipun sering dikaitkan dengan aspek praktis dan ilmiah, juga memerlukan unsur kreativitas dan imajinasi untuk membayangkan bagaimana kita bisa berinteraksi lebih di dalam lingkungan dan alam.

Pertanyaannya, bagaimana cara kita berinteraksi dengan alam? Menjaga keselarasan antara manusia dan alam merupakan sebuah kewajiban (Samidi, 2016). Sedangkan istilah ‘proses menjadi’ digunakan oleh Whitehead untuk memahami otonomi entitas manusia dan alam. Dari sini, Whitehead berusaha menegaskan bahwa pola hubungan antara keduanya—manusia dan alam—ialah dinamis. Sifat ‘dinamis dan selalu berkembang’ dari konsep ini, memberikan kontribusi signifikan terhadap kedalaman pengalaman manusia dalam menghasilkan perubahan.

Lalu, apa yang harus kita lakukan?

Keterkaitan antara sastra dan manusia sangatlah kuat (Rahmadiyanti, 2020). Sastra sendiri tumbuh sekaligus berakar dari permasalahan kehidupan manusia yang terjadi sehari-hari di sekitar lingkungannya. Tentu secara fitrah manusia cenderung menyukai hal-hal bersifat estetika (Wildan, 2018). Tendensi ini kemudian dapat menggiring cara pandang manusia terhadap perspektif hingga praktik terhadap isu-isu beserta fenomena yang terjadi di lingkungannya.

Humaniora sebagai salah satu disiplin ilmu yang dapat membantu kita untuk lebih mendalam memahami akar masalah lingkungan, (Srlin, 2012) peran budaya dan sejarah dalam perubahan lingkungan, serta aspek etis dan moral yang mendasari upaya konservasi dan pelestarian lingkungan di era modern. Dengan melibatkan perspektif ini, kita dapat mengembangkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang permasalahan serta tantangan lingkungan global dan mencari solusi yang sesuai. Manusia adalah makhluk yang memiliki batasan, namun pada saat tertentu ia dapat menembus batas itu sendiri. Akal manusia secara alamiah akan membantunya menembus batasan-batasan (Mulyadhi Kartanegara, 2007). Mari sejenak kita berkontemplasi terkait transformasi masa depan. Bayangkan, apabila di masa depan oksigen di bumi tidak gratis, perlu dibayarkan setiap bulan bahkan dihitung per detiknya. Apakah kita akan memilih bekerja keras demi membayar tagihan oksigen atau justru memilih mengakhiri kehidupan?

Ternyata bayangan indah tentang masa depan bisa bertransformasi sebagai wasiat malapetaka. Sebuah novel berlatar tahun 2093 karya Fauzi Maulana bertajuk “Unfinished Journal” yang mengisahkan keadaan distopia bumi layaknya neraka pada tahun 2093 akibat perang nuklir yang terjadi pada tahun 2065. Bumi satu-satunya planet yang berpenghuni sudah mengalami perubahan drastis. Badai matahari mencapai permukaan Bumi, lapisan ozon telah banyak berlubang, pasokan air dan udara semakin menipis, bahkan sudah amat langka.

Pada masa itu, setiap kota memiliki kubah pelindung yang berfungsi untuk melindungi penduduk dari radiasi matahari. Demi keberlangsungan (sustainablity) hidup, manusia pada zaman itu hidup dengan cairan agak kental berwarna hijau sebagai pengganti air yang disebut sebagai vilidis. Mirisnya, untuk mendapatkan oksigen—zat fundamental dalam keberlangsungan hidup manusia—mereka perlu membayar setiap bulannya. Dan, bagi siapa pun yang tidak mampu membayar maka akan dikeluarkan dari kubah atau dibunuh paksa dengan keadaan tersiksa.

Senada dengan apa yang dideskripsikan oleh Rachel Carson, “Silent Spring” sebagai salah satu karya sastra ilmiah yang mengulas dampak pestisida terhadap alam dan manusia. Idenya teraktualisasikan dalam gerakan kesadaran lingkungan di Amerika Serikat.

Beberapa contoh di atas adalah karya seni dan sastra yang menyentuh isu-isu lingkungan, menyuarakan keprihatinan, dan dapat mempengaruhi pandangan dan tindakan masyarakat terkait dengan pelestarian lingkungan. Penting untuk diingat bahwa kesadaran akan ketergantungan manusia pada alam dan tanggung jawab untuk melestarikan alam menjadi aspek penting dalam upaya pelestarian lingkungan (Therik & Lino, 2021). Dengan menyadari bahwa manusia adalah bagian-bagian integral dari alam, kita dapat lebih bijak dalam cara kita berinteraksi dengan dan menjaga lingkungan alamiah. Menyuarakan berbagai macam aspirasi, ide, dan konsep, kemudian menyelaraskan mereka dengan kondisi bumi yang semakin memburuk, merupakan langkah awal dalam memupuk kesadaran. Salah satu aspek humaniora yang dapat dimanfaatkan adalah melalui karya seni karena hakikat sastra idalah ekspresi batin dalam bentuk lain. Dan yang terpenting, menyadari sepenuhnya bahwa kepedulian terhadap lingkungan adalah langkah penting dalam mengimplementasikan bumi yang layak huni, sambil menempatkan aspek humaniora, dalam hal ini sastra, sebagai katalisator yang berpotensi menciptakan dunia yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Ahmadi, A. (2015). Psikologi sastra. Penerbit Unesa University Press.

Arnold, D. (2013). Ecological ethics: an introduction. Green Letters, 17(1). https://doi.org/10.1080/14688417.2012.753335

Aryatnaya Giri, I. P. A., Ardini, N. L., & Kertiani, N. W. (2021). Tri Hita Karana sebagai Landasan Filosofis Pendidikan Karakter Ekologis. Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 12(2). https://doi.org/10.25078/sjf.v12i2.2697

Barry, P. (2020). Ecocriticism. In Beginning theory (fourth edition) Manchester University Press.

Carson, R. (2015). Silent spring. In Thinking about the environment, Routledge.

Fatimahsyam, F. (2018). Pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana dengan Pendekatan Mazhab Antroposentris. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 20(1). https://doi.org/10.22373/substantia.v20i1.3405

Fauzi Maulana. (2011). Unfinished journal: sebuah perjalanan untuk menyelamatkan masa depan umat manusia (1st ed.). PT Mizan Publika.

Feder, H. (2014). Ecocriticism, Posthumanism, and the Biological Idea of Culture. The Oxford Handbook of Ecocriticism, January.

Greg Garrard. (2012). Ecocriticism The New Critical Idiom (2nd ed.). Routledge.

Hayles, N. K. (2013). How We Became Posthuman. In How We Became Posthuman. https://doi.org/10.7208/chicago/9780226321394.001.0001

Iovino, S., & Oppermann, S. (Eds.). (2014). Material ecocriticism, Bloomington: Indiana University Press.

Kartanegara, M. (2017). Lentera Kehidupan Panduan Memahami Tuhan. Alam. Mizan.

Lytle, M. H. (2007). The gentle subversive: Rachel Carson, Silent Spring, and the rise of the environmental movement. Oxford University Press.

Marland, P. (2013). Ecocriticism. Literature Compass, 10(11).

Michael, R. U. S. E., & Ruse, M. (2009). Darwin and design: does evolution have a purpose?. Harvard University Press.

Mulyadhi Kartanegara. (2007). Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia (M. Ag. Halid Alkaf & Lc. , M. A. Achmad Ta’yudin, Eds.; 1st ed.). Erlangga.

Patrick Curry. (2006). Ecological Ethics: An Introduction. Polity, 2006.

Plumwood, V. (2005). Environmental culture: The ecological crisis of reason. In Environmental Culture: The Ecological Crisis of Reason. https://doi.org/10.4324/9780203996430

Rahmadiyanti, R. V. (2020). Tokoh Sari dalam Novel Perempuan Bersampur Merah Karya Intan Andaru: Kajian Psikoanalisis Sigmund Freud. Bapala, 7(3).

Ruslan. (2018). Tuhan, Manusia dan Alam dalam Perspektif Filsafat Islam. Jurnal Qolamuna, 4.

Samidi, S. (2016). Tuhan, Manusia, dan Alam: Analisis Kitab Primbon Atassadhur Adammakna. SHAHIH: Journal of Islamicate Multidisciplinary, 1(1). https://doi.org/10.22515/shahih.v1i1.47

Santosa, I., & Heriyanto, H. (2023). Pemahaman Tradisional mengenai Alam Menurut SeyyedHossein Nasr Dalam Upaya Mengatasi Krisis Lingkungan. Jurnal Peradaban, 2(1). https://doi.org/10.51353/jpb.v2i1.659

Srlin, S. (2012). Environmental humanities: Why should biologists interested in the environment take the humanities seriously? In BioScience (Vol. 62, Issue 9). https://doi.org/10.1525/bio.2012.62.9.2

Sugiharto, B. (2014). Seni dan Dunia Manusia. Extension Course Filsafat (ECF), (1).

The Oxford handbook of ecocriticism. (2015). Choice Reviews Online, 52(08). https://doi.org/10.5860/choice.188487

Therik, J. J., & Lino, M. M. (2021). Membangun Kesadaran Masyarakat Sebagai Upaya Pelestarian Lingkungan. Jurnal Administrasi Publik, 17(1).

Timothy Morton. (2010). The Ecological Thought (1st ed.). Harvard University Press.

Wildan, R. (2018). Seni dalam Perspektif Islam. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 6(2). https://doi.org/10.22373/jiif.v6i2.3049