Ngaji Hati:  Bekal Spiritual Santri Hadapi Ujian Semester

Dalam pengarahan Ujian Akhir Semester 2 Tahun Ajaran 2024–2025, Mudir al-Ma’had Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza K.H. Zahid Purna Wibawa, S.T. memulainya dengan Ngaji Hati pada Kamis, 22 Mei 2025 di Aula Tasabuq. Kegiatan ini sangat penting sebagai pembekalan dan arahan persiapan menghadapi ujian dengan baik.


Kiai Zahid memulainya dengan menyebutkan hadis Nabi Muhammad Saw:

أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, dan jika segumpal daging tersebut buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Kiai Zahid pun menjelaskan bahwa hati diibaratkan sebagai seorang raja di dalam tubuh, karena seluruh tubuh akan melaksanakan titahnya. Siap menerima perintah perilaku yang baik maupun yang buruk. Karena itu, hati akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat nanti.

Hati adalah raja atau pemimpin di dalam tubuh. Kalau hatinya tidak baik, maka seluruh tubuhnya akan melaksanakan amalan yang tidak baik“, ujar beliau.

Mudir al-Ma’had memaparkan bahwa menurut Ibn al-Qayyim, hati dibagi menjadi tiga macam:

  1. Hati yang Sehat (al-Qalb as-Salim), cirinya adalah menerima, mencintai, dan mendahulukan kebenaran di atas kepentingan apa pun. Pengetahuannya tentang kebenaran sempurna. Selalu taat, menerima sepenuhnya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Hati dan seluruh aktivitasnya diniatkan sebagai bentuk ibadah kepada Allah.
  2. Hati yang Mati (al-Qalb al-Mayyit), di mana sifat dan perilakunya adalah kebalikan dari hati yang sehat. Tidak peduli terhadap nasihat, baik dari orang tua, guru, maupun sahabat. Itu adalah manusia yang memiliki hati yang mati. Segala sesuatu dihitung dengan uang dan materi, bukan dengan ibadah atau keberkahan, padahal keberkahan itu nilainya tak terhingga.
  3. Hati yang Sakit (al-Qalb al-Maridh). Tahu ajarannya, tahu ilmunya, terkadang salim, terkadang mayyit, namun sering kali lebih condong pada hal-hal yang tidak baik. Begitulah hati yang sakit. Mudah terpengaruh orang lain, tidak punya pendirian, kehilangan jati diri, sehingga tidak punya makna diri. Di dalam hatinya, bukan Allah Swt. yang berkuasa.

Selanjutnya, Kiai Zahid memaparkan Cara Menjaga Hati agar Tetap Sehat, yang terdiri atas sembilan kebiasaan (nine golden habits):

  1. Kebiasaan salat tepat waktu;
  2. Kebiasaan puasa sunnah;
  3. Kebiasaan zakat, infak, dan sedekah;
  4. Kebiasaan adab-adab Islam;
  5. Kebiasaan membaca Al-Qur’an;
  6. Kebiasaan membaca kitab dan buku ilmu pengetahuan;
  7. Kebiasaan menghadiri majelis pengajian;
  8. Kebiasaan tertib berorganisasi;
  9. Kebiasaan berpikir positif dan murah senyum.

Kiai Zahid juga membahas makna ujian. Ujian adalah sarana untuk mengevaluasi diri, bukan sekadar penilaian angka, bukan hanya penilaian akademik, tapi juga penilaian akhlak dan mental.

Kiai Zahid pun mengimbau agar para santri belajar sungguh-sungguh dalam menghadapi ujian, melakukan persiapan yang baik, dan tidak menggunakan cara curang, yang merupakan kehinaan.

“Manusia yang benar adalah ketika dia sudah menghadapi ujian, kemudian merasa kurang dan tidak maksimal, maka ia mempelajari dan memperbaikinya, sehingga ujian ke depan akan jauh lebih baik lagi,” ujarnya.

“Jangan sampai menggunakan cara-cara yang tidak diridai Allah Swt.,” tegas beliau.

Acara ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Kiai Zahid dengan penuh kekhusyukan. Semoga para santri menjadi anak-anak yang saleh dan dapat melaksanakan ujian dengan sebaik-baiknya. Semoga kebaikan menyertai semua di saat dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja.