Menemukan Cahaya di Balik Luka, Mencegah <em>Self-Harm</em>

Islam melarang umatnya melakukan perbuatan menyakiti diri sendiri (self harm)  karena hal itu termasuk perbuatan zalim. Namun sayangnya, self harm masih terjadi di kalangan masyarakat, termasuk pelajar, di saat menghadapi kondisi tertekan. Bahkan self harm paling banyak terjadi di tingkat usia remaja (usia sekolah). Mereka menyakiti diri sebagai pelarian atau pengalihan  dari keadaan tertekan, stres, frustasi, depresi, dan lainnya.

Masalah ini harus mendapatkan perhatian dari kalangan pendidik agar tidak terus mengalami peningkatan. Lalu, bagaimanakah cara mengatasi dan mencegahnya?

Dalam Penyuluhan Tentang Remaja dan Perilaku Self Harm dalam Perspektif Psikologi dan Islam pada Minggu (14/1/2024) Psikolog Chaista Rahmanillah, S.Psi., M.Psi. memberikan penjelasan dan bimbingan seputar self harm pada santri SMP kelas satu Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza. Kegiatan ini diadakan di Ballroom Asy-Syahid dan dipandu oleh Ustazah Sustia Ningsih, S.Sy selaku Manager Coaching dan Counseling Putri.

Menurut Psikolog Chaista, yang aktif di Human Resilience Consulting, Depok, Jawa Barat, bahwa self harm atau non-suicidal self injury merupakan tindakan menyakiti diri sendiri yang biasanya dimulai dengan cara untuk menghilangkan tekanan yang menumpuk akibat pikiran dan perasaan yang buruk. Bagi pelaku, self harm dirasakan bisa meredakan rasa sakit emosional untuk sesaat tetapi inti masalah tidak hilang. Setelah itu, perasaan bersalah dan malu mungkin muncul sehingga self harm ini sangat rentan menjadi sebuah siklus.

“Saat seseorang menyakiti diri sendiri, hal itu hanya meredam emosi sesaat, rasa sakit teralihkan, fokus perhatian terhadap masalah beralih. Tapi masalahnya tidak menghilang,” jelas Psikolog Chaista.

“Perbuatan ini bisa menjadi siklus. Setiap kali menghadapi masalah, lalu melakukan self harm, begitu seterusnya menjadi sebuah siklus. Karena itu harus dihentikan,” lanjutnya.

Membutuhkan Perhatian

Psikolog Chaista mengungkapkan bahwa seseorang yang mengalami luka emosional dan mendapat hinaan akan mengalami dua luka. Pertama luka akibat masalah yang tengah dihadapinya, dan kedua, luka karena dihina.

“Karena itu kita harus peka dan menawarkan bantuan, bukan malah menambah luka,” ujarnya.

Pelaku self harm membutuhkan perhatian karena mereka dalam kondisi kebingungan. Mereka tidak tahu bagaimana mengatasi luka emosional yang tengah dihadapinya.

“Mereka bingung dan tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah, meredam, dan mengalihkan rasa sakit,” katanya.

“Maka self harm menjadi cara seseorang mengatasi tekanan emosional yang sangat berat,” lanjutnya.

Psikolog Chaista menjelaskan bahwa self harm bukanlah bentuk mencari perhatian atau hiburan, tetapi sering kali merupakan cara seseorang mencoba mengatasi tekanan emosional yang berat atau kesulitan menghadapi perasaan yang mendalam.

Self harm bisa menjadi cara maldaptif dalam mengatasi masalah psikologis atau trauma yang lebih mendalam, dan dapat menjadi tanda bahwa seseorang memerlukan dukungan emosional dan profesional untuk mengatasi kesulitan mereka.

Mengapa Melakukan Self Harm?

Perilaku self harm memiliki beragam sebab yang berbeda-berbeda dari setiap individu. Tidak ada sebab yang sama, bahkan bisa berubah-ubah. Namun secara umum, faktor  yang melatarbelakangi self harm dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini, sebagaimana dijelaskan oleh Psikolog Chaista, antara lain:

  1. Kesepian dan merasa ditolak lingkungan. Seseorang yang tidak memiliki teman dan ditolak lingkungan karena berbagai sebab, rentan melakukan self harm. Ia tidak memiliki seseorang untuk berkomunikasi dan berbagi kehidupannya, sehingga merasa kesepian;
  2. Perubahan hidup yang tiba-tiba seperti ditinggal kematian oleh orang yang sangat dicintai (orang tua, anggota keluarga, sahabat, dan sebagainya). Ia dalam kondisi merasa kehilangan dan sulit menerimanya. Ini menjadi penyebab depresi yang paling tinggi;
  3. Beradaptasi dengan lingkungan baru, terlebih lingkungan yang dirasa tidak nyaman. Hal ini menimbulkan perasaan cemas, takut, dan terasingkan;
  4. Kritik oleh guru atau teman yang menimbulkan perasaan rendah diri. Ia merasa tidak mampu dan kecewa pada diri sendiri;
  5. Kekerasan atau perundungan oleh teman sebaya. Hal ini menyebabkan seseorang tersakiti, baik secara fisik maupun psikis;
  6. Harga diri rendah atau merasa berbeda dari orang lain. Kekurangan fisik, sifat, kemampuan, dapat menimbulkan rasa rendah diri. Terlebih jika mendapat hinaan.;
  7. Stres ujian, perasaan tertekan yang ekstrem atau takut gagal. Kondisi ini menimbulkan perasaan takut, cemas, dan tertekan.

Akibat dari berbagai latar belakang di atas maka seseorang terdorong melakukan self harm ketika ia tidak tahu bagaimana mengatasinya. Ia juga tidak tahu kepada siapa meminta bantuan. Psikolog Chaista menjelaskan alasan seseorang melakukan self harm, yaitu:

  1. Mengatasi tekanan emosional. Melukai diri dirasa dapat mengurasi tekanan emosional;
  2. Mencoba untuk merasa memegang kendali. Ketika ia tidak tahu harus bagaimana, melukai diri dirasa memiliki kendali atas permasalahan yang dihadapi;
  3. Cara untuk menghukum diri sendiri. Ia merasa pantas mendapatkan luka akibat rasa bersalah yang ditanggungnya;
  4. Mengatasi rasa hampa atau kesepian. Melukai diri dirasa sebagai pengalihan kesepian dan meredakan luka hatinya;
  5. Mengalihkan perhatian dari rasa sakit emosional. Melukai diri dirasa dapat mengalihkan perhatian dari rasa sakit emosional;
  6. Respons terhadap pikiran yang mengganggu. Ini juga bentuk pengalihan terhadap kondisi pikiran yang mengganggu akibat permasalahan yang dihadapi;
  7. A cry for help or pain. Sebenarnya, seseorang yang melukai dirinya ingin mendapatkan pertolongan, namun tidak tahu harus bagaimana. Ia pun melukai diri dan menangis.

Menurut Psikolog Chaista, self harm tidak memiliki motif bunuh diri. Mereka tetap menjalani hidup secara normal, memiliki harapan dan cita-cita. Hanya saja ketika dalam keadaan terluka, ia melukai dirinya.

“Jadi, kita harus peka dan menawarkan bantuan,” ujarnya.

Mengatasi Self Harm

Self harm dapat dicegah dengan pola pikir dan sikap positif. Hal ini harus dilakukan agar tidak menjadi siklus yang berulang. Meskipun self harm berbeda dengan bunuh diri, namun perilaku tersebut dapat mengarah pada gangguan mental, bahkan bunuh diri jika semakin berlarut-larut dan tidak tertangani.

Sebagaimana dijelaskan Psikolog Chaista, terdapat cara efektif untuk mencegah dan menangani self harm, yang disebut nurturing self love melalui mindful self confession, menumbuhkan cinta diri yang positif. Hal ini dilakukan dengan cara mengubah cara pandang negatif terhadap diri sendiri menjadi cara pandang yang positif. Hal ini sebagaimana berikut:

  1. Self Judgement, sikap menghakimi diri sendiri, merasa bersalah, merasa buruk, merasa tidak berguna, dan  merasa pantas dihukum. Untuk hal ini, tumbuhkan self kindness, dengan menerima kekurangan atau kesalahan, memaafkan diri dan mampu memperbaikinya;
  2. Isolation, merasa tidak ada yang mengerti dan hanya menderita sendiri. Untuk hal ini, tumbuhkan common humanity, bahwa ada orang lain yang mengalami hal yang sama dan bisa menghadapinya dengan baik. Kita tidak merasa menderita sendirian;
  3. Over identification, berlebihan dalam menilai diri sendiri secara negatif, seperti merasa sial, gagal, dan hancur. Untuk hal ini, tumbuhkan Mindfulness, yaitu fokus pada keadaan sekitar dan menerima keadaan, menyadari hidup di sini dan saat ini.

Selain nurturing self love melalui mindful self confession, cara lainnya adalah menjaga pola hidup yang baik, dengan menjaga kesehatan fisik dan mental. Banyak kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan fisik, seperti berolah raga, membersihkan rumah, berjalan-jalan, dan sebagainya. Untuk menjaga kesehatan mental dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti berwudu, salat, berdoa, berinteraksi dengan teman, membaca, berkonsultasi, meminta nasihat, dan masih banyak lagi.