Drs. K.H. Ahmad Syahiduddin, pengasuh Pondok Pesantren Daar el-Qolam Tangerang, Banten, berpulang ke rahmatullah pada 16 Sya’ban 1445/26 Februari 2024. Sosok yang dikenal disiplin, tegas, penuh perhatian, dan tanggung jawab ini telah sepenuhnya mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan pondok pesantren dan santri-santri yang sangat dicintainya. Di bawah kepemimpinannya, Daar el-Qolam tumbuh pesat menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam terbesar di Banten. Kepergian beliau meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga besar pesantren dan masyarakat luas. Banyak yang merasa kehilangan sosok pemimpin yang penuh dedikasi, keikhlasan, dan keteladanan ini.
Ayo, Nak, Salat ke Masjid!
Kiai Syahid dikenal tak surut langkahnya meski menghadapi banyak tantangan. Perjuangannya tetap kuat meski tak bertabur bunga dan pujian. Cinta dan perhatiannya kepada para santri serta ketekunannya dalam menegakkan disiplin tak pernah pudar. Para santri murid beliau telah merasakan hal tersebut. Salah satunya Ustaz Ahmad Nizamuddin Qisti, Lc. yang sekarang menjadi guru di Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza.
“Saya masuk pesantren terhitung sejak tahun 2015-2018. Pada tahun itulah saya bertemu dengan beliau. Saat itu, beliau masih gagah dengan motor PCX hitamnya. Saya merupakan bagian dari produk ketegasan Kiai. Perhatian beliau terhadap disiplin pesantren dan akhlak meliputi seluruh pesantren. Seluruh lapisan masyarakat pesantren merasakan langsung bentuk perhatian beliau dan menjadi saksi,” ungkap Ustaz Nizam.
Menurut Ustaz Nizam, Kiai Syahid juga sangat memperhatikan disiplin salat jamaah lima waktu di masjid. Setiap subuh beliau keliling untuk membangunkan santri, mulai dari Daar el-Qolam 1, 2, 3 dan 4.
“Sekali waktu, saya pernah sakit demam sehingga kesulitan untuk pergi jamaah ke masjid. Kebetulan kasur saya sejurusan dengan pintu, sehingga beliau bisa melihat saya terbaring di atas ranjang saat azan subuh berkumandang. Lantas beliau berhenti persis di depan kamar saya dan membunyikan klakson panjang. Suara itu membangunkan saya. ‘Ayo, Nak, salat ke masjid! Kamu masih bisa jalan.’ Dengan nada tegas khas, beliau membangunkan saya,” kenangnya.
Ustaz Nizam juga menceritakan bahwa Kiai Syahid tanpa segan melipir ke tiap-tiap rumah guru untuk mengajak mereka salat subuh berjamaah. Ketegasan beliau tampak bukan hanya dari perbuatannya, tetapi juga dari ucapannya.
“Berulang kali beliau menegaskan bahwa beliau tidak segan-segan mengeluarkan santri yang tidak mau salat berjamaah ke masjid. Beliau tidak sudi menaungi orang-orang yang enggan salat berjamaah. Ketegasan beliau sangat membekas di hati saya. Berkat omelannya saat itu, hingga saat ini saya terbiasa untuk salat berjamaah di masjid. Alhamdulillah,” ujarnya.
Kiai Syahid sangat menekankan pentingnya salat berjamaah karena, selain mengajarkan disiplin, hal ini juga bertujuan agar para santri menjadikan Allah sebagai prioritas utama dalam hidup mereka. Menurut beliau, segala sesuatu memiliki tartib atau urutan yang harus diikuti, dan Allah harus selalu berada di urutan pertama. Dengan menunaikan salat berjamaah, para santri tidak hanya belajar untuk disiplin dalam waktu tetapi juga menanamkan nilai bahwa Allah adalah pusat dari segala amal perbuatan. “Tidak ada yang mahapenting selain Allah,” kata Kiai Syahid dalam suatu kesempatan.
Pelajaran Penuh Makna
Masa-masa menjadi santri di bawah bimbingan Kiai Syahid meninggalkan kenangan yang tak terlupakan. Meski beliau tidak intens mengajar di kelas, momen-momen ketika beliau memberikan pengajaran sangat dinantikan. Menurut Ustaz Nizam, selama menjadi santri, Kiai Syahid memang tidak sering mengajar di dalam kelas. Saat itu, beliau hanya mengajar kitab selepas subuh, khusus untuk santri kelas akhir. Terakhir kali dia mengikuti pengajian Kiai Syahid adalah pada tahun 2018, tepat setahun setelah lulus dari pesantren dan melanjutkan pengabdian.
“Dari pengalaman saya selama mengaji kepada beliau, sering kali beliau mengibaratkan suatu pelajaran dengan hal yang sederhana. Tujuannya tidak lain untuk memudahkan santri memahami apa yang disampaikan. Metode ini ternyata saya temukan juga dalam Al-Qur’an. Allah Swt. sering menggunakan perumpamaan dalam menjelaskan sesuatu yang sulit dipahami oleh akal manusia. Allah Swt. menggunakan metode ini untuk memudahkan manusia memahami pesan ketuhanan,” jelasnya.
“Selain itu, Kiai juga tidak anti dengan guyonan di tengah pengajian. Beliau tidak selalu kaku, statis, dan formal. Kami sering dibuat tertawa oleh guyonan segarnya,” lanjutnya.
Pengalaman belajar bersama Kiai Syahid bukan hanya tentang menerima ilmu, tetapi juga tentang menikmati proses belajar yang penuh makna dan kebahagiaan. Kenangan ini selalu menjadi bagian berharga dari perjalanan hidup sebagai santri di pesantren.
Tegas dan Kasih Sayang
Ada banyak sekali nilai luhur yang bisa kita petik dari sosok Kiai Syahid. Di antara nilai-nilai tersebut yang paling menonjol adalah Amar Ma’ruf, Nahi Munkar. Ketegasan beliau, kata Ustaz Nizam, mengingatkan pada sosok Khalifah Umar ibn al-Khattab. Tegas tanpa menindas, merata tanpa pandang kasta.
“Siapa saja yang beliau temui melakukan sebuah kesalahan, baik dalam hal ibadah maupun pekerjaan, pasti ditegur dan dibenahi tanpa segan. Itu yang seharusnya bisa kita tiru dari beliau. Sebab kebatilan yang merajalela bukan karena banyaknya kesalahan. Namun karena diamnya kebenaran. Semoga sedikit saja kita bisa mengambil keberkahan teladan ini,” ujarnya.
Keteladanan Kiai Syahid dalam menegur kesalahan adalah sesuatu yang sangat berharga. Beliau menegur bukan untuk menjatuhkan, tetapi untuk membangun dan memperbaiki. Kiai Syahid mengajarkan bahwa keberanian untuk menegur kesalahan adalah kunci untuk mencegah kemungkaran. Dengan ketegasan dan keadilan, beliau menunjukkan bahwa setiap orang bisa menjadi agen perubahan yang positif di masyarakat.
Kesan Tak Terlupakan
Ustaz Nizam memiliki kenangan yang begitu mendalam dengan Kiai Syahid, hingga setiap kali teringat, hatinya selalu diliputi rasa haru dan syukur. Ketika masih menjadi santri, Ustaz Nizam rutin membaca salawat di masjid satu jam sebelum azan Subuh. Sementara itu, Kiai Syahid berkeliling membangunkan para santri untuk salat Subuh berjamaah. Dalam suatu kuliah etiket, Kiai Syahid mengungkapkan rasa terharunya melihat ada santri yang istiqamah membaca salawat sebelum Subuh. Meski tidak menyebutkan nama, Ustaz Nizam tahu bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Bagi Ustaz Nizam, momen tersebut menjadi bukti nyata betapa besar perhatian dan kasih sayang Kiai Syahid kepada para santrinya.
“Walaupun saya ragu, beliau kenal saya atau tidak secara personal. Tapi saya yakin beliau mengenali saya secara batin. Keyakinan itu datang sejak saya menjadi santri. Alhamdulillah. Dulu ketika saya santri, saya biasa lantunkan selawat nabi sejam sebelum subuh. Itu bersamaan ketika beliau sedang sibuk menggebrak penghuni pesantren,” katanya.
“Sampai akhirnya dalam satu kesempatan, beliau berbicara dalam khutbah etiket ketika santri hendak berlibur. Dalam nasihatnya, beliau sempat menyelipkan pujian kepada saya secara tidak langsung dihadapkan hadirin saat itu. ‘Ada satu santri saya. Jam 4 subuh dia sudah lantang mengumandangkan selawat nabi di saat yang lain terlelap. Mendengar itu saya haru sekali. Suaranya menyayat hati.’ Sambil menangis beliau katakan itu dan tanpa sadar saya saat itu ikut hanyut mendengarnya. Saat itu saya duduk jauh di belakang terhalang tiang,” kenangnya.
Ustaz Nizam terus bercerita tentang bagaimana perhatian Kiai Syahid berlanjut bahkan setelah ia mulai mengabdi. Hampir setiap Subuh, ia bersama Kiai Syahid membangunkan para santri. “Meskipun saya sadar itu tidak membantu beliau sama sekali. Nyatanya, saya selalu didahului oleh klaksonnya. Sampai di masjid, beliau suka memberikan isyarat kepada saya untuk menjadi imam salat. Dengan taat saya patuhi,” ujarnya.
Ustaz Nizam melanjutkan kisahnya hingga saat ia akan berangkat ke Tunis. Ia harus izin dari pesantren selama seminggu untuk menyiapkan segala sesuatu. Setelah acara pelepasan santri usai, ia dan keluarganya menemui Kiai Syahid untuk berpamitan secara langsung. Ayahnya langsung merebut tangan Kiai Syahid untuk dicium. Kiai Syahid segera mengenali ayahnya.
“Ini anak Bapak? Masya Allah, pantas saya cari seminggu ini ke mana saja tidak ada. Ternyata berangkat ke Tunisia. Bapak beruntung punya anak yang bisa jadi imam. Masya Allah,” kata Kiai Syahid.
Sang ayah pun kelu mendengar tutur Kiai Syahid waktu itu, bingung bagaimana harus berterima kasih.
“Saya bersyukur. Meski belum pernah mendengar beliau memanggil nama saya, saya merasa punya hubungan spesial dengan beliau. Sampai saat ini, kami masih sering berkomunikasi lewat mimpi. Beliau sering hadir dalam mimpi-mimpi saya, biasanya disaat saya sedang dilema. Beliau datang membawa isyarat. Atas isyaratnya waktu itu, saya mengabdi di pondok ini. Rumi benar tentang satu hal: bahwa perpisahan hanya bagi mereka yang mencintai dengan mata,” kenangnya.
“Semoga Kiai lebih bahagia di sana. Insya Allah, di surga kita jumpa dan Kiai panggil nama saya,” pungkasnya.