“Ilmu yang barakah adalah ilmu yang kebermanfaatannya dirasakan oleh orang lain,” kata K.H. Zahid Purna Wibawa, S.T., Mudir al-Ma’had Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza, pada Kamis (14/11/2024) dalam kesempatan evaluasi bulanan bersama para guru.
Dalam kesempatan tersebut, Mudir al-Ma’had menyampaikan pentingnya adab terhadap ilmu, seperti dalam hal pelaksanaan ujian, dengan disiplin, rapi, bersih, dan tepat waktu, agar terasa haibah-nya. “Itu bagian dari memuliakan majelis ilmu,” kata Kiai Zahid.
Hal ini pun akan menjadi teladan bagi para santri. Pelaksanaan ujian yang teratur dan terasa haibah atau wibawanya dapat menumbuhkan sikap hormat, disiplin, dan tanggung jawab pada santri.
Kiai Zahid kemudian menceritakan kisah salah seorang sahabat Rasulullah, yang dapat menjadi inspirasi dalam hal semangat kebaikan. Namanya Sya’ban, yang memiliki kebiasaan unik sepanjang hidupnya. Setiap hari, Sya’ban selalu hadir di masjid sebelum salat fardhu berjamaah dimulai dan duduk di sudut masjid untuk beri’tikaf, bukan untuk tidur, melainkan agar tidak mengganggu jamaah lain yang ingin beribadah.
Suatu ketika, Sya’ban tidak tampak di tempat biasa, sehingga Rasulullah mulai bertanya-tanya. Setelah beberapa saat tidak ada kabar, Rasulullah pun memutuskan untuk mencari ke rumah Sya’ban. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Rasulullah akhirnya tiba di rumah Sya’ban dan bertanya kepada istrinya.
“Istrinya menjawab dengan air mata, ‘Ya Rasulullah, Sya’ban sudah meninggal pagi tadi sebelum adzan subuh.'”
Kemudian, sang istri menceritakan bahwa sebelum meninggal, Sya’ban sempat berkata-kata tiga kali dengan kalimat yang berbeda. “Aduh, mengapa tidak lebih jauh? Aduh, mengapa tidak yang baru? Aduh, mengapa tidak semuanya?”
Rasulullah kemudian menjelaskan makna dari kata-kata sebut. Pertama, “Aduh, mengapa tidak lebih jauh?” mengacu pada perjalanan Sya’ban yang biasa ia lakukan setiap hari menuju masjid. Dalam penayangan amal yang ditunjukkan Allah, Sya’ban menyaksikan betapa besar ganjaran dari setiap langkah kakinya. Seandainya jarak rumahnya lebih jauh, tentu pahala yang ia terima lebih banyak.
Kedua, “Aduh, mengapa tidak yang baru?” berkaitan dengan kebiasaan Sya’ban mengenakan pakaian luar yang jelek agar tidak kotor. Ketika ia menemui seorang yang kedinginan, ia menanggalkan pakaian luar tersebut untuk diserahkan kepada orang tersebut. Ia menyesal, karena jika ia memberikan pakaian yang baru, ganjaran yang diterimanya pasti lebih besar.
Ketiga, “Aduh, mengapa tidak semuanya?” berkenaan dengan peristiwa ketika Sya’ban membagi sebagian roti dan susu yang hendak ia konsumsi kepada seorang pengemis yang kelaparan. Seandainya ia memberikan semuanya, tentu pahala yang ia terima lebih besar.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa setiap amal, sekecil apapun, memiliki ganjaran yang luar biasa di sisi Allah. Namun, kita juga diajarkan untuk berusaha memberikan yang terbaik dalam setiap amal perbuatan kita, baik dalam ibadah maupun dalam interaksi dengan sesama.
Kiai Zahid pun mengimbau agar kita semua semangat dalam berbuat kebaikan, meningkatkan ilmu, disiplin, dan tanggung jawab demi mendapatkan berkah dan rida Allah Swt.