Akhlak Rasulullah atau Akhlak Kita?

Jauhnya jarak ruang dan waktu yang terbentang antara kita dengan Rasulullah ﷺ membuat kita kesulitan membedakan antara agama dan budaya. Apalagi setelah adanya akulturasi agama yang terjadi di berbagai belahan bumi, khususnya di bumi Nusantara. Pernyataan ini bukan sebagai bentuk penolakan terhadap hal tersebut, melainkan merupakan sebuah kenyataan yang mesti disadari esensinya. Selain buta terhadap literasi asli keislaman, adanya akulturasi agama di Indonesia juga menjadi salah satu sebab muslim di Indonesia hari ini rabun membedakan agama dan budaya. Ditambah lagi, kehadiran sebagian kelompok yang berpandangan bahwa memisahkan budaya dari agama merupakan bagian dari sikap eksklusivisme. Akibatnya, hal tersebut membuat budaya dan agama menjadi lebih intim, sehingga perlahan orang awam semakin meyakini bahwa yang sebenarnya hanya budaya merupakan bagian dari agama. Padahal keduanya sungguh berbeda.

Akulturasi budaya dan agama yang dilakukan oleh para pendahulu dalam menyebarkan Islam tidak lain hanya sebuah media untuk berdakwah. Mereka membumikan ajaran Islam lewat kultur yang ada agar Islam tidak terlihat asing bagi masyarakat setempat. Sebab, jika dilakukan dengan cara yang berbeda, mereka akan mendapatkan penolakan. Sehingga pada saat itu, akulturasi menjadi sebuah kemudahan bagi mereka yang menyebarkan dan menerima dakwah. Kenyataannya, hari ini ada banyak sekali pemeluk Islam yang justru malah dipersulit oleh budaya-budaya yang terlanjur lekat dengan Islam dan meyakininya sebagai bagian dari ajaran agama. Hal ini bukan hanya terjadi dalam hal ibadah, namun juga pada akhlak.

Kita sering sekali mendengar ajakan untuk meneladani akhlak Rasulullah ﷺ. Tokoh dari berbagai kalangan kompak menyerukan ini kepada pengikutnya. Hal ini merupakan kebiasaan yang perlu dilestarikan, bagian dari pengejawantahan firman Tuhan yang menitahkan untuk saling menasehati dalam kebaikan. Namun, sayangnya akhlak yang digaungkan sering kali digunakan untuk mendapatkan penghormatan dari partisan. Padahal, dalam hadits, pelaku akhlak adalah Rasulullah ﷺ, sedang sahabat selalu menjadi objeknya. Misalnya saja, kisah Anas bin Malik (174 H) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (256 H) dan Muslim (261 H). Anas merupakan pembantu Rasulullah ﷺ. Dalam hadits, beliau bercerita bahwa ia menjadi pembantu Rasulullah ﷺ selama sepuluh tahun. Selama itu, beliau belum pernah sekalipun mendengar Rasulullah ﷺ berkata: “Mengapa kamu tidak lakukan itu?” terhadap sesuatu yang ia tinggalkan. Tidak pula berkata: “Mengapa kamu lakukan itu?” terhadap sesuatu yang ia kerjakan.

Al-Qadhi ‘Iyadh (544 H) dalam kitab fenomenalnya, Asy-Syifa, banyak meriwayatkan keindahan akhlak Rasulullah ﷺ. Selain kisah di atas, beliau juga meriwayatkan kisah indah lainnya. Bahwa Rasulullah ﷺ bercanda dengan para sahabatnya, bercengkrama dengan mereka, sampai Abdullah bin al-Harits (86 H) mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat orang yang lebih banyak senyumnya daripada Rasulullah ﷺ. Beliau memanjakan anak-anak kecil serta memangkunya, menghadiri undangan dari berbagai kalangan, menjenguk orang sakit meski berada di perbatasan kota, selalu lebih dulu menyapa yang bertemu dengan jabat tangan dan salam, tidak pernah terlihat memanjangkan kaki di antara sahabatnya, memuliakan tamu yang sambang ke rumahnya, bahkan beliau sampai membentangkan bajunya sebagai alas untuk tamunya dan mempersilakan mereka duduk di atasnya. Ia tidak pernah memotong pembicaraan orang, apabila ada orang yang datang menemui beliau untuk sebuah hajat, sementara beliau sedang salat, Rasulullah ﷺ akan meringankan salatnya untuk segera memenuhi keperluan sahabatnya. Apabila ada yang memintanya sesuatu, beliau tidak pernah mengatakan tidak.

Mana di antara akhlak Rasulullah ﷺ di atas yang pernah kita teladani? Mari sekali lagi kita renungi kisah Anas sang pembantu yang tidak pernah diprotes majikan. Menjadi satu hal yang maklum bahwa di antara Rasulullah ﷺ dan para sahabat, tentu beliaulah yang lebih mulia. Bukan hanya karena ia seorang utusan Tuhan, melainkan seorang keturunan Quraisy, suku terhormat di tanah Mekkah, dengan kecerdasannya beliau mampu mempersatukan kaum saat peletakan Hajar Aswad. Rasulullah ﷺ yang kemuliaannya sudah diakui oleh Allah, tidak pernah sekalipun menyangkal perbuatan pembantunya. Beliau tidak enggan menjahit bajunya sendiri, menambal sandalnya, bahkan menyapu rumahnya. Bagaimana sikap kita dengan orang yang status sosialnya di bawah kita? Bagaimana cara kita memperlakukan istri di rumah? Ingat, kita tidak lebih mulia dari Rasulullah ﷺ dan orang yang kita anggap di bawah bukanlah pembantu. Apa yang masih mampu beliau perbaiki, akan diperbaiki dengan tangannya sendiri.

Hal tersebut sedikit pun tidak mengurangi tingginya derajat Muhammad sebagai seorang nabi. Malah seharusnya memberikan pemahaman kepada umatnya tentang kesetaraan. Bahwa kemuliaan semu yang saat ini kita sandang berupa kekayaan, kekuasaan, pengetahuan, tidak semestinya menghalangi kita dari melakukan hal-hal yang dianggap hina oleh sebagian manusia. Kedudukan kita di tengah manusia tidak serta-merta membuat kita merasa pantas menunjuk dan memerintah orang lain untuk memenuhi keinginan semata. Apalagi sampai menghardik dengan merendahkan harga dirinya. Dari penggalan narasi di atas, penulis hendak mengajak pembaca agar sama-sama mempelajari akhlak Rasulullah ﷺ untuk dipersembahkan kepada orang lain. Bukan malah berharap agar orang lain memperlakukan kita dengan akhlak tersebut. Alih-alih mengajak khalayak berakhlak, padahal hanya hasrat ingin dapat hormat. Mari merefleksikan diri sejenak terhadap akhlak yang selama ini kita nisbahkan kepada Rasulullah ﷺ, apakah sungguh benar-benar akhlak beliau atau hanya budaya yang merebak?