Yang Hilang dalam Ikhlas

Mengenang 100 hari setelah kepergian Almarhum KH. Ahmad Syahiduddin bin KH. Qasad Mansur, beragam cara dan acara dilaksanakan. Tiap-tiap santri mengambil perannya dalam memuliakan arwah sang guru tercinta. Masing-masing pecinta mengekspresikan kerinduan mereka terhadap sosok teladan. Ada yang membuat kelompok zikir, ada yang berderma atas nama beliau, ada yang mementaskan teater tentang keluhuran beliau, ada pula yang menerbitkan ceramah beliau menjadi buku.

Meski sedikit dan dalam bentuk kecil, saya juga ingin ambil bagian dalam hal ini. Dalam tulisan ini, saya mencoba menorehkan noktah dari samudera keteladanan beliau. Mungkin, saya bukan yang pertama menjasadkan nilai-nilai kebajikan beliau dalam sebuah tulisan. Ada banyak dari santri beliau yang merupakan guru-guru saya yang sudah lebih dulu membukukan kehidupan dan ajaran sang kiai. Seakan bumi enggan menguruk kebaikan beliau yang melimpah lalu terlupakan. Sehingga, saat ini mendiang beliau sudah terbaring dalam liang lahat, namun semakin hari, semakin tampak buah keikhlasan yang sepanjang langkah pernah beliau tanamkan. Munculnya berbagai bentuk peringatan tentang sosok Kiai Syahid merupakan pengejawantahan dari doa Nabi Ibrahim as. yang menjadi doa orang-orang saleh seperti beliau. “Jadikanlah aku sebagai buah tutur yang baik di kalangan orang-orang (yang datang) kemudian.” (Q.S Asy-Syu’ara : 84). Kebaikan beliau bukan hanya sebatas menjadi buah tutur. Melainkan menjalar menuju keabadian.

Kiai yang terkenal dengan ketegasannya itu memiliki peranan penting bagi tumbuh kembangnya pondok pesantren ini. Bukan tanpa tantangan dan rintangan, justru beliau memilih untuk tetap bertahan konsisten dalam menjaga amanah dan meneruskan langkah. Pesatnya kemajuan Pondok Pesantren Daar el-Qolam menjadi salah satu bukti nyata akan keikhlasan beliau. Kalau bukan keikhlasan sebagai landasan, keistikamahan tak akan ada dalam perbuatan. Akan sulit untuk tetap berada pada nilai-nilai kebenaran jika tidak ada dorongan hati untuk tidak mengharapkan apa pun dalam setiap kebajikan selain keridaan Tuhan.

Beliau adalah sosok yang mentirakati keikhlasan dalam setiap gerak tindaknya. Hal itu tampak sekali dari semangat beliau yang tak surut meski kulitnya mulai berkeriput. Dalam usia senjanya saja, kepalanya masih diramaikan oleh urusan kepentingan pondok pesantren. Beliau tidak menemukan ketenangan jika belum berkeliling, sekadar memantau dan memastikan bahwa pondok dan seisinya baik-baik saja. Sampai saat-saat terakhir sebelum beliau wafat, di atas kursi rodanya beliau masih ingin berkeliling. Setelah beliau meyakini kondisi pondok ini sudah purna, barulah dadanya bisa menghela nafas panjang untuk yang terakhir kalinya. Semoga Kiai tenang di sana.

Ikhlas, Mukhlis, dan Mukhlas

Timbul tanya. Kekuatan apa yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu “di luar batas” kemampuannya? Motivasi apa yang mendongkrak langkah renta untuk melakukan sesuatu yang bahkan tidak bisa dilakukan laku muda? Sampai saat ini saya tidak menemukan jawaban apapun selain keikhlasan. Atas dasar inilah paling tidak saya ingin sedikit memunculkan konsep keikhlasan yang beliau isyaratkan lewat ucapan dan perbuatannya.

Secara bahasa, Ikhlas diserap dari Bahasa Arab (أَخْلَصَ-يُخْلِصُ-إِخْلَاصًا) yang artinya membuat sesuatu menjadi murni. Abdullah Ar-Rahili dalam kitabnya, Thoriquka Ila Al-Ikhlas mendefinisikan hakikat ikhlas adalah kesungguhan dalam niat, ucapan dan perbuatan pada hal yang berkaitan dengan hak Allah swt. dan apa-apa yang berkaitan dengan hak makhluk. Korelasi antara makna ikhlas secara bahasa dengan apa yang didefinisikan oleh Ar-Rahili adalah bahwa kemurnian niat dalam menyampaikan ataupun mengerjakan kebaikan akan menentukan keuletan seseorang dalam melakukan hal tersebut. Sederhananya, kualitas dan konsistensi dalam kebaikan berbanding lurus dengan keikhlasan.

Dalam al-Qur’an, kurang lebih ada dua puluh ayat yang berbicara tentang keikhlasan. Sebelas tempat menggunakan lafaz (مُخْلِصٌ) dalam bentuk subjek. Sembilan tempat lainnya menggunakan lafaz (مُخْلَصٌ) dalam bentuk objek. Berdasarkan dua lafaz ini, saya membagi keikhlasan menjadi dua tingkatan. Pertama, “Ikhlas Mukhlis”. Dua, “Ikhlas Mukhlas”. Untuk mendapatkan benang merah dari kedua lafaz ini, tentu kita mesti menilik masing-masing ayat dari konteksnya. Sesuai dengan kaidah Bahasa Arab maupun tafsir. Dalam hal ini, saya akan banyak bersandar kepada Ath-Thabari sebagai penafsir Al-Quran abad ketiga. Salah satu keunggulan beliau dalam tafsirnya adalah penggabungan antara metode Tafsir bi al-Ma’tsur yang menjadikan riwayat sebagai landasan tafsir dan Tafsir bi ar-Ra’yi yang menggunakan seperangkat kaidah untuk menafsirkan.

  1. Ikhlas Mukhlis

Dari sebelas ayat dalam al-Qur’an yang berbicara tentang orang-orang ikhlas yaitu mukhlis, tujuh ayat di antaranya berada dalam konteks yang positif. Empat ayat lainnya berada di sisi yang berbeda. Empat ayat yang berkonteks negatif tersebut sama-sama berkisah tentang keikhlasan orang-orang musyrik dan munafik sebagaimana yang dipaparkan At-Tabari dalam tafsirnya. Empat kali Allah Swt. mengabarkan keikhlasan mereka dalam berdoa dan bermunajat ketika mereka berada di atas bahtera terombang-ambing, diterjang ombak dan badai samudera. Setelah diselamatkan dari kematian, bukan beriman, mereka malah menyekutukan Tuhan. Sifat semacam ini, secara global Allah Swt. sematkan kepada kebanyakan manusia seperti yang difirmankan dalam surat Yunus ayat 12. “Apabila manusia ditimpa kesusahan, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Namun, setelah Kami hilangkan kesusahan itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat) seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) kesusahan yang telah menimpanya. Demikianlah, dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas itu apa yang selalu mereka kerjakan.” (Q.S Yunus : 12)

Adapun tujuh ayat lainnya yang menyebutkan kisah orang-orang ikhlas dari sisi yang berseberangan, lima di antaranya adalah bentuk perintah dari Allah Swt. kepada Nabi Muhammad beserta umatnya agar menyembah-Nya dengan ikhlas tanpa mencampurinya dengan niat buruk atau beragam bentuk kesyirikan. Dua ayat yang lainnya merupakan pengakuan sebagai orang-orang yang menuhankan Allah Swt. dengan keikhlasan.

Berdasarkan dua latar belakang yang berbeda ini, saya simpulkan bahwa tingkat ikhlas yang pertama ini adalah ikhlas kebanyakan orang saat ini dalam beribadah. Ada di antara mereka yang hanya ikhlas di saat-saat genting saja. Ada juga yang menjadikan keikhlasan dalam setiap perbuatan mereka sebagai satu hal yang penting. Bahkan sebagian lainnya ada yang awalnya ikhlas dalam segala hal lalu waktu menggerusnya sampai hilang. Ikhlas Mukhlis adalah proses menuju Mukhlas. Dalam tahap ini, Mukhlis setiap hari harus bergelut dengan lingkungan dan dirinya sendiri. Dia berada pada fase yang mengharuskan dia untuk tetap bertahan dalam konsistensinya melakukan kebajikan. Meski tidak dihargai orang sekitar, bahkan dinafikan. Hal semacam itu bisa berlangsung lama. Sehingga lambat laun, yang menjadi lawannya bukan hanya dari luar, tapi dari dalam dirinya sendiri yang sudah mulai lunglai. Mukhlis hanya akan menang dari pertarungan ini jika ia punya ikhlas yang lebih murni.

  • Ikhlas Mukhlas

Setelah melalui tahapan sebelumnya, seorang hamba dalam perjalanannya menuju ikhlas yang sempurna akan sampai pada tingkat yang disebut dengan Mukhlas. Seperti yang sudah diisyaratkan di awal bahwa dalam ilmu sharaf, Mukhlas merupakan bentuk objek yang memiliki arti dijadikan ikhlas. Kaidah ini memberikan pandangan bahwa pada level ini, seseorang yang sudah susah payah mengikhlaskan diri, pada akhirnya Allah swt. sendiri yang akan menjadikannya sebagai hamba yang benar-benar murni dalam penghambaannya.

Berbeda dengan ayat yang bercerita tentang Mukhlis, semua ayat tentang Mukhlas bercerita tentang kemurnian ikhlas pada hambanya. Sampai berulang kali dalam surat Ash-Shaffat, Allah swt. dengan bangga menyifati mereka dengan keteguhan iman yang tidak tersentuh oleh Iblis, menghadiahkan mereka dengan beragam kenikmatan surga, diselamatkan dari azab dunia dan siksa neraka. Kemudian secara khusus Allah swt. sebutkan contoh di antara hamba-Nya yang sampai pada maqam ini. Yaitu Nabi Yusuf as. dan Nabi Musa as. sebagaimana yang Allah swt. firmankan dalam surat Yusuf ayat 24 dan Maryam ayat 51.

Ikhlas yang Tak Goyah

Apabila seorang hamba berhasil meraih kedudukan ini, maka ikhlasnya tidak lagi goyah. Bagaimanapun bentuk ujiannya, kemurnian ikhlasnya tidak ternoda. Bagaimana tidak? Mengingat bahwa Allah swt. sendiri yang sudah memilih dan menjadikannya sebagai hamba yang ikhlas. Pantaslah ia disebut Mukhlas. Apakah untuk mencapai Mukhlas mesti menjadi Mukhlis? Tentu tidak. Dalam beberapa kasus, Tuhan memberikan anugerahnya secara “cuma-cuma”. “Itulah karunia Allah yang dianugerahkan kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah memiliki karunia yang besar.” (Al-Jumu’ah : 4). Namun, bukan berarti tidak perlu diusahakan. Justru ayat yang berbicara tentang Mukhlis lebih banyak daripada Mukhlas. Seperti isyarat bahwa setiap kita harus berusaha mengikhlaskan diri dalam setiap laku dan ucap sampai Allah swt. ikhlaskan kita.

Dari pembahasan singkat tentang ikhlas ini, lahirlah konsep yang saya singkat ISI (Ikhlas, Sabar, Istikamah). Ikhlas yang kita dambakan nyatanya tidak mudah didapatkan. Akhirnya banyak orang memilih berhenti dari kebaikan sebelum mendapatkan manisnya keikhlasan. Ada juga yang menunda kebaikan demi untuk menunggu datangnya keikhlasan. Maka gambaran ayat di atas tadi seharusnya mengajarkan kepada kita untuk memulai kebaikan dan bertahan pada kebenaran. Karena ikhlas bukan rukun dan syarat ibadah. Niat yang menjadi rukun dan syarat dalam setiap ibadah. Bahkan niat yang menjadikan adat bernilai ibadah. Kalau ikhlas tidak datang di awal ibadah, maka biarlah istikamah yang menjadi sampan kita untuk menjemputnya dan jadikan sabar sebagai dayungnya.

Kiai Syahid adalah salah satu orang yang saya saksikan keikhlasannya. Kokoh tidak patah. Beliau menjadi contoh nyata dari pelaku ikhlas. Masa hidupnya adalah upaya untuk ikhlas sampai akhirnya Allah swt. panggil beliau sebagai Mukhlas. Sepanjang saya berada dalam pengasuhannya, belum pernah saya mendengar dari mulutnya tentang pengakuan ikhlas. Keikhlasannya lebih zahir saya lihat dari perbuatannya. Seperti di dalam surat Al-Ikhlas. Hilang kata ikhlas. Yang tersisa hanya Tuhan dan ketunggalan-Nya.