Izinkan Lisanku Mengukir Nisanmu

Aku perlu izinmu untuk itu. Bukan karena kau guru dan aku muridmu. Tidak. Kau tidak pernah membuat sekat itu. Aku perlu izinmu karena temu yang tidak perlu tidak pernah kuhirau. Aku perlu izinmu karena bangku tidak pernah mendudukkan kita dalam satu tawa dan gurau.

Meski terlambat untuk izinmu, aku tidak pernah ragu menuliskannya untukmu. Sosok jenakamu dan tidak kaku yang meyakinkanku. Izinkan aku untuk mengabadikanmu dalam risalah kecilku. Sebab bayangmu terlalu nyata untuk menjadi maya. Ingatanku sekarat mengidap gambaran tentangmu, sehingga pergimu tidak mudah meninggalkan kenanganku.

Singkat sekali pamitmu. Rasanya baru kemarin kau menjawab sapaku yang selalu begitu dengan jawaban yang juga selalu begitu, “Yah, hidup mah gini-gini aja, Zam.” Sesak sekali menerima itu sebagai basa-basi terakhir kita.

Entah bagaimana, tiba-tiba makhluk itu datang mengambil alih tubuhmu. Memaksa tegap badanmu untuk rebah tanpa daya di rumah yang bukan rumahmu. Namun, senyumanmu tetap merekah seperti biasanya. Seolah lewat seutas senyum itu kau berusaha menenangkan lalu berkata, “Tidak apa-apa.”

Bodohnya, saat itu aku sempat percaya. Melihat kondisimu yang semakin hari memang baik-baik saja. Meski tidak seperti semula. Semangatmu kuat sekali hingga banyak yang tertipu oleh kepulanganmu. Ternyata kau pulang hanya untuk berpamitan. Selepas itu, kau hengkang membelakangi isak tangis orang tersayang.

Ada duka yang menghujam. Ada air mata yang menghujan. Aku pernah mengira bahwa dengan mengurangi jumpa, kehilangan akan terasa biasa saja. Nyatanya, justru malah semakin dalam lukanya. Lebih terasa seperti telah menyia-nyiakan canda yang pada saat itu mungkin berbalas tawa.

Mereka bertanya, “Sejak kapan kau menahan derita?” Sepandai itukah kau berpura-pura baik-baik saja? Bahkan, mereka yang berada dalam jangkauanmu saja bertingkah seakan hadirmu sempat melengkapi hari-hari bahagia mereka. Mereka mengira dukunganmu masih akan mendorong usahanya lebih lama.

Sehari setelah kepergianmu, muncul banyak tatap mata yang kosong dari makna. Terbelalak mencari motor hitam berstiker “KUCAY” yang kerap hinggap di depan gedung tempat kau menggarap. Pandangan terakhirnya tentangmu hanya sehelai kain putih yang merahap.

Kepergianmu menyisakan banyak sesal. Sebal, kau pergi tanpa tanda. Setidaknya, beri tahu aku dulu bagaimana caramu setenang ini menjalani hidup? Aku ingin sedamai gurauanmu saat dunia sangat serius mempermainkanku. Aku ingin selantang bahakmu menghadapi kerasnya cemoohan. Tidak sempatkah?

Meski tidak terbaca olehmu, tulisanku ini akan menjadi nisan berjalan yang menarasikan kehangatan rangkulanmu kepada orang-orang sepertiku. Ustadz, terimalah risalah ini sebagai caraku mengucapkan sampai jumpa dengan kata yang tidak sederhana.

Untuk keluarga, sahabat, dan pecinta, izinkan aku ikut hanyut, larut dalam lara yang bermuara pada doa. Untuk Ustadz Rifqi Afif Handoyo bin H. Soetomo, al-Fatihah.

Nizam, murid nakalmu.