
Pada tulisan sebelumnya, penulis membahas tentang hal penting yang perlu diperhatikan dalam berdakwah melalui kisah teladan Nabi Nuh dan kaumnya. Di antaranya adalah adab berdakwah. Seni menyuguhkan nasihat kepada objek dakwah yang cenderung menolak kebenaran. Bahwa dalam pelaksanaannya, dakwah membutuhkan sabar tak bertepi dan konsisten tanpa tapi. Seperti petani yang tidak jemu menunggu pangkal tumbuh. Ia hanya baik memerankan dirinya sebagai penabur benih dan penyokong air. Gagal panen tidak menggarap harapannya untuk tetap menebar benih. Karena petani tahu tumbuh-kembang tanamannya bukan menjadi tanggung jawabnya. Melainkan mutlak kuasa Sang Ada. Gagal panen tidak membuat petani serampangan menanam bibit baru. Justru dia semakin beradab menjalani prosesnya dengan mempelajari ilmu dan seni bercocok tanam. Begitulah seharusnya seorang pendakwah. Karena itu, pada tulisan ini kita akan jumpai bagaimana Allah SWT bukan hanya sekadar mengajarkan adab berdakwah melainkan juga menegur siapa saja yang menjalankan ibadah mulia ini dengan standar yang tidak sesuai. Kali ini al-Qur’an mendidik pelaku dakwah lewat kisah yang diperankan oleh Nabi Yunus ‘alaihissalam.
Kisah Nabi Yunus diabadikan dalam al-Qur’an pada beberapa surat. Di antaranya adalah surat al-Anbiya’ ayat 87-88 dan surat ash-Shaffat ayat 139-148. Penggalan cerita yang tercecer di antara surat-surat terpisah saling menegaskan dan melengkapi alurnya. Bahwa Nabi Yunus pernah mengalami peristiwa yang begitu memilukan dalam hidupnya. Ia ditelan ikan di bawah kedalaman laut gelap yang mengerikan. Kisah bermula dari diutusnya beliau kepada sebuah kaum yang bernama Nainawa yang menetap di daerah Mosul, Irak. Setelah cukup lama berdakwah, kaumnya belum juga mengindahkan ajakan tauhid yang selalu diserukan Yunus. Karena itu, suatu hari ia memutuskan untuk pergi meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Yunus bertolak dari tempat ia berdakwah menumpangi sebuah kapal yang penuh muatan. Ibnu Katsir menceritakan dalam tafsirnya bahwa di tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Yunus terombang-ambing diterjang ombak raksasa. Sehingga para penumpang memutuskan untuk mengurangi muatan kapal yang berlebihan agar tetap seimbang. Untuk itu, mereka melakukan undian. Nama yang keluar harus meninggalkan kapal. Undian pertama dimulai dan yang keluar adalah nama Yunus. Penumpang yang bersama Yunus saat itu adalah kaumnya yang taat. Sehingga mereka menolak jika harus Yunus yang mengorbankan dirinya. Setelah diundi ulang 2-3 kali, hasilnya tetap sama. Nama Yunus yang keluar. Akhirnya dengan berat hati, Yunus menanggalkan pakaiannya dan menceburkan diri ke tengah samudera. Tak lama kemudian, Allah mengutus seekor ikan raksasa untuk menelan Yunus. Kemudian Dia mewahyukan kepada ikan itu agar ia tidak melumat daging dan tulangnya. Allah hanya menjadikan perut ikan tersebut seperti penjara yang mengurung Yunus. Surat al-Anbiya’ ayat 87 menggambarkan betapa mencekamnya keadaan yang dialami oleh Nabi Yunus. Bagaimana tidak? Dalam ayat itu Allah SWT menyatakan bahwa Yunus diliputi oleh kegelapan berlapis; gelapnya perut ikan, gelapnya kedalaman laut, dan gelapnya malam. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud (32 H) radhiyallahu ‘anhu. Di tengah kegelapan yang ia rasakan, Yunus hanya dapat berpasrah diri, menggantung harapannya tinggi-tinggi kepada satu-satunya Dzat yang mengetahui dan mampu menyelamatkannya dari keadaan ini. Dari penggalan kisah di atas, kita akan membahas pelajaran penting dan memetik hikmah berharga yang Allah berikan lewat perantara hamba pilihan-Nya, Yunus ‘alaihissalam.
Sabar dalam Berdakwah
Pelajaran yang paling menonjol dari kisah ini adalah tentang bagaimana seorang pendakwah yang menghendaki kebaikan kepada orang lain harus bersabar dan teguh dalam mengajarkan serta mengajak umat kepada kebaikan. Al-Qur’an mengisahkan bahwa Yunus pergi meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Namun, di sana tidak disebutkan alasan Yunus marah dan kepada siapa ia marah? Dalam hal ini, at-Tabari (310 H) berupaya menjawab pertanyaan tersebut melalui kitab tafsirnya dengan bersandar kepada sanad periwayatan yang ada. Beliau mengutip riwayat Ibnu Abbas (68 H) radhiyallahu ‘anhuma yang menafsirkan bahwa kemarahan Yunus tertuju kepada kaumnya sebab menolak dakwahnya. Imam al-Qurtubi (671 H) juga menambahkan bahwa kemarahan Yunus disebabkan oleh lamanya masa yang ia lalui ketika menghadapi gangguan dan penolakan kaumnya. Sehingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka dalam keadaan marah. Padahal Allah SWT memerintahkannya agar tetap berada di tengah-tengah kaumnya. Akan tetapi ia tetap pergi tanpa izin-Nya. Karena itulah Allah SWT memerintahkan ikan Nun untuk menelannya sebagai bentuk teguran dari-Nya. Secara tidak langsung, Allah SWT menegur para pendakwah lewat salah satu kisah nabi pilihan-Nya. Pendakwah bukan saja seorang khatib di atas mimbar. Konteks pendakwah begitu luas hingga mencakup siapa saja yang mengemban tanggung jawab mengajar dan mendidik. Seperti orang tua, guru, suami, dan yang lainnya. Lazimnya, seorang pendakwah mendawamkan sabar dalam proses mengajar dan mengajak orang lain kepada kebaikan. Tidak semestinya ia malah marah dan pergi meninggalkan kaumnya ketika tidak mendapatkan penerimaan yang baik atau jemu menghadapi sikap buruk mereka yang tidak kunjung reda. Sebab tidak ada yang tahu kapan Allah menghendaki hidayah kepada mereka. Bisa jadi hidayah sampai di hati mereka pada saat ia memutuskan untuk berpaling darinya. Seperti yang dialami oleh Nabi Yunus ‘alaihissalam. Sesaat sebelum ia melangkahkan kaki dari pemukiman kaumnya, Allah SWT memerintahkan kepadanya untuk memberikan peringatan akan datangnya azab kepada kaumnya. Mendengar hal tersebut, mereka diselimuti rasa takut yang hebat. Sebab mereka meyakini kebenaran berita yang datang dari seseorang yang tidak pernah berbohong. Akhirnya, mereka memilih untuk berbondong pergi mengosongkan tempat tinggalnya menuju padang pasir bersama anak-anak beserta hewan ternaknya. Di sana mereka serempak merunduk takut kepada Allah SWT. Memohon agar Dia menunda azab yang dijanjikan Yunus. Kemudian turun firman Tuhan surat Yunus ayat 98:
“Mengapa tidak ada (penduduk) suatu negeri pun yang segera beriman sehingga imannya itu bermanfaat kepadanya, selain kaum Yunus? Ketika mereka beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia dan Kami berikan kesenangan hidup (sementara) kepada mereka sampai waktu yang ditentukan.”
Hal ini menjadi ukuran standar sabar yang harus diterapkan dalam setiap proses dakwah. Bahwa batasan sabar ketika berdakwah adalah sampai datangnya hidayah Allah pada objek dakwah. Sehingga hal ini menjadi tantangan terbesar bagi seorang pendakwah. Ketika ia harus tetap konsisten dengan kesantunan pada kondisi yang menjengkelkan dan tidak bergeming dari keadaannya. Bisa kita bayangkan betapa mengerikannya teguran yang didapatkan Nabi Yunus karena pergi meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Ia harus mendekam beberapa waktu dalam penjara bawah laut. Maka bagaimana bisa seorang pendakwah yang bukan nabi menghardik keras objek dakwahnya? Teguran seperti apa yang akan ia dapatkan saat meniadakan sabar dalam dakwahnya? Sampai Allah SWT mengingatkan hal penting ini kepada Rasulullah ﷺ dalam firman-Nya surat al-Qalam ayat 48:
“Oleh karena itu, bersabarlah (Nabi Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu dan janganlah seperti orang yang berada dalam (perut) ikan (Yunus) ketika dia berdoa dengan hati sedih.”
Lewat ayat ini Allah SWT menasihati Rasulullah ﷺ agar tidak pemarah dalam berdakwah dan tergesa-gesa seperti Yunus. Sebagaimana dijelaskan oleh at-Tabari.
Hikmah Kisah
Di balik kisah teladan Nabi Yunus ‘alaihissalam yang dahsyat, terdapat sejumlah hikmah yang semestinya ditelaah oleh umat muslim yang menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Kisah-kisah yang dimuat dalam al-Qur’an tidak seperti yang dikatakan oleh orang-orang kafir. Mereka menganggap bahwa cerita-cerita itu hanyalah dongeng fiktif belaka. Sebaliknya, kumpulan kisah tersebut merupakan fakta sejarah yang menunjukkan eksistensi para nabi terdahulu beserta kaumnya. Bukan hanya sekadar pengetahuan, melainkan untuk dijadikan pelajaran lewat hikmah-hikmah yang tersirat di dalamnya.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa pada saat itu Yunus masih muda belia ketika mendapatkan risalah kenabian yang begitu besar. Bersamaan dengan itu, ia mendapatkan banyak cobaan dari kaumnya. Keadaan itu benar-benar membuatnya gundah gulana. Sampai ketika Allah SWT menguji beliau dengan menahannya di dalam perut ikan. Namun, sesaat pun Allah SWT tidak pernah meninggalkannya sendiri dalam kekalutan. Rasulullah ﷺ mengisahkan hal ini dalam haditsnya yang diriwayatkan Abu Hurairah (59 H) radhiyallahu ‘anhu. Ketika sampai dasar laut, Yunus mendengar bisikan. Kemudian dalam benaknya terbesit tanya, ‘Suara apa ini?’. Allah SWT mewahyukan kepadanya bahwa itu adalah suara tasbih makhluk laut. Keheningan laut pecah oleh riuh tasbih penghuni bawah samudera dan Yunus ikut hanyut dalam tasbih mereka. Sehingga sebab tasbihnya, ia diselamatkan oleh Allah SWT dan ikan itu diperintahkan untuk mengeluarkan Yunus di tepian pantai seperti bayi yang baru dilahirkan.
لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ
Tasbih ini yang membebaskan ia dari tawanan kegelapan. Allah SWT mencintai Yunus yang mengakui keesaan-Nya dan menyadari kesalahan dirinya. Sekiranya ia tidak bertasbih, niscaya Allah akan menahannya hingga hari kebangkitan. Sebagaimana firman-Nya dalam surat ash-Shaffat ayat 143-144:
“Seandainya dia bukan golongan orang yang banyak bertasbih kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perutnya (ikan) sampai hari Kebangkitan.”
Mari kita singkap bersama hikmah apa yang Allah sembunyikan di balik kisah ini. Pada umumnya, manusia pasti menjumpai kesempitan dalam hidupnya. Meski tidak sama seperti para nabi dan rasul, kita diberikan ujian sesuai kadar kemampuan masing-masing. Sehingga orang Islam meyakini bahwa kesulitan di dunia merupakan sebuah keniscayaan. Ayat di atas seperti sedang menghibur siapa saja yang sedang dilanda musibah. Seolah Allah SWT menyatakan bahwa seberat apa pun keadaannya saat ini, kita tidak pernah sepelik Yunus. Dia berada di ujung jalan buntu. Saat itu tidak ada yang bisa dilakukan Yunus selain bertasbih kepada-Nya. Usaha semacam apa yang dapat ia lakukan untuk keluar dari perut ikan raksasa yang menelannya? Jika berhasil keluar pun ia harus berusaha melawan kuatnya tekanan air di kedalaman laut yang dapat meleburkan makhluk yang tidak diciptakan untuk menapakinya. Namun, coba lihat bagaimana Allah SWT memberikan sebuah magic word kepada kita melalui lisan Nabi Yunus yang apabila diucapkan dengan keyakinan sempurna, niscaya segala masalah yang ada akan sirna begitu saja. Mari kita lihat apa yang Allah lakukan setelah Yunus terus-menerus mengulang tasbihnya:
“(Ingatlah pula) Zun Nun (Yunus) ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya. Maka, dia berdoa dalam kegelapan yang berlapis-lapis, ‘Laa Ilaaha Illa Anta Subhanaka Inni Kuntu Minnazhzhalimin (Tidak ada tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang zalim).’ Kami lalu mengabulkan (doa)-nya dan Kami menyelamatkannya dari kedukaan..” (QS al-Anbiya’: 88)
Tidak sampai sana. Allah SWT menyempurnakan ayat di atas dengan mengabarkan bahwa Dia akan melakukan hal yang sama kepada orang beriman yang sedang ditimpa kesedihan lalu ia mengucapkan tasbih tersebut:
“..Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang mukmin.”
Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.