Bulan Rabiul Awal selalu membawa kita pada perenungan mendalam tentang sosok agung yang mengubah jalannya sejarah—Rasulullah saw. Bulan ini, yang sering disebut sebagai Bulan Maulid, menjadi momen refleksi spiritual, sosial, dan kultural bagi umat Islam. Sebuah panggilan untuk menengok kembali prinsip-prinsip dasar ajaran Islam yang dibawa Rasulullah saw: ketakwaan, kasih sayang, dan keadilan.
Islam menggarisbawahi pentingnya ketakwaan sebagai fondasi kemuliaan manusia. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, Allah menegaskan bahwa derajat seseorang diukur dari takwanya, bukan dari latar belakang, status sosial, atau keturunan. Prinsip ini menandaskan bahwa ketakwaan adalah modal utama bagi siapa saja yang ingin mencapai kemuliaan di mata Allah. Ketakwaan dalam ajaran Islam adalah penyerahan sepenuhnya kepada kehendak ilahi, yang tercermin dalam tindakan nyata yang berlandaskan akhlak mulia.
Ketakwaan harus terwujud dalam sikap kasih sayang dan rahmat terhadap sesama. Sebagaimana disebut dalam Surat al-Anbiya ayat 107, Nabi diutus sebagai “rahmatan lil alamin,” rahmat bagi seluruh alam. Makna “rahmat” di sini bersifat menyuruh—menyentuh seluruh aspek kehidupan. Rasulullah saw. tidak hanya diutus untuk menyampaikan wahyu, tetapi juga membangun tatanan kehidupan yang baik berdasarkan keimanan, takwa, dan kasih sayang.
Rasulullah Saw. Membawa Rahmat dan Kasih Sayang
Dalam tafsir Ibn Katsir, ada sebuah momen ketika Rasulullah saw ditawarkan untuk mendoakan keburukan atas kaum musyrik. Respons Rasulullah saw sangat mengejutkan: “Aku tidak diutus untuk melaknat, tetapi sebagai rahmat.” Ini adalah pesan penting tentang bagaimana seharusnya bertindak. Tidak dalam kebencian atau dendam, tetapi dengan kasih sayang yang merangkul semua pihak, bahkan mereka yang berada di luar batas-batas keimanan. Di sini, Rasulullah saw tidak hanya berperan sebagai penyampai wahyu, tetapi juga sebagai pemimpin yang menampilkan contoh konkret bagaimana agama harus menjadi sumber kebaikan bagi seluruh umat manusia.
Tentu saja, Rasulullah saw adalah manusia yang memiliki emosi—beliau juga pernah marah. Namun, rahmat yang menjadi misi kenabiannya begitu kuat sehingga kemarahan tersebut tidak pernah merusak, melainkan diubah menjadi doa dan kebaikan di akhirat. Rasulullah saw, meskipun marah, tetaplah manusia yang membawa rahmat dan kasih sayang. Ini adalah gambaran sempurna tentang bagaimana keagungan akhlak Rasulullah tidak tergelincir oleh emosi atau nafsu sesaat.
Imam al-Baidhawi dalam tafsirnya menyatakan bahwa Rasulullah saw diutus sebagai rahmat karena kehadirannya menjadi sumber kebahagiaan bagi manusia, baik di dunia maupun akhirat. Siapa yang mengikuti ajarannya, akan merasakan kebahagiaan dan kedamaian, sedangkan yang menolaknya akan kehilangan kesempatan besar untuk memperoleh kebahagiaan sejati. Di sini, terlihat bagaimana kehadiran Rasulullah saw adalah sebuah transformasi spiritual dan sosial yang tidak hanya terbatas pada pengikutnya, tetapi bagi seluruh umat manusia.
Ketika Rasulullah saw hijrah ke Thaif, sebuah episode yang mengharukan dalam sejarah hidup beliau, kita diingatkan pada kekuatan kasih sayang dan pemaafan yang luar biasa. Di sana, Rasulullah saw tidak hanya menghadapi penolakan, tetapi juga kekerasan fisik yang melukai tubuh. Namun, dalam situasi yang begitu sulit, Nabi tidak sedikit pun menyimpan dendam. Ketika malaikat penjaga gunung menawarkan untuk menghancurkan penduduk Thaif, beliau dengan penuh kasih sayang menolak, memilih untuk memaafkan mereka dan berdoa agar generasi mereka kelak menerima cahaya Islam. Sikap ini mencerminkan betapa luasnya rahmat dan pengampunan yang dibawa Rasulullah saw, sebuah pelajaran penting bahwa kebencian dan balas dendam tidak pernah menjadi jalan yang dibenarkan dalam Islam.
Keteladanan ini menggugah kita untuk meniru sikap Rasulullah saw dalam menghadapi kesulitan hidup. Rasulullah saw mengajarkan kita bahwa memaafkan bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kekuatan sejati. Dalam situasi yang mengundang kebencian sekalipun, beliau memilih jalan pemaafan. Kasih sayang yang beliau tunjukkan kepada umatnya adalah manifestasi dari perintah Allah agar umat manusia hidup dalam kebaikan dan kedamaian.
Berjiwa Pemaaf
Sikap pemaaf Rasulullah saw semakin terlihat jelas dalam peristiwa perang Uhud. Ketika pamannya, Hamzah bin Abdul Muthallib, dibunuh dengan keji oleh Wahsyi, luka di hati Nabi begitu mendalam. Namun, meskipun kesedihan dan kemarahan menguasai hatinya, beliau tidak membiarkan emosi tersebut mengubah jalan hidupnya yang penuh kasih sayang. Ketika Wahsyi akhirnya datang untuk menyatakan keislamannya, Nabi memaafkannya. Pemaafan ini menegaskan bahwa kasih sayang Rasulullah tidak bersyarat—ia diberikan bahkan kepada orang yang telah menyakitinya secara pribadi.
Allah sendiri memerintahkan sifat pemaaf ini dalam Al-Quran, tepatnya dalam Surat Al-A’raf ayat 199, yang berbunyi: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” Ayat ini menggarisbawahi bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus mengedepankan sikap pemaaf dan terus mengajak pada kebaikan, bukan memupuk dendam atau memperbesar masalah. Kasih sayang yang Rasulullah saw ajarkan tidak hanya untuk umat Islam, tetapi juga bagi seluruh manusia.
Bagi kita yang hidup di pesantren, nilai-nilai kasih sayang dan pemaafan ini harus menjadi pegangan dalam setiap interaksi kita. Hidup bersama dalam sebuah lembaga yang mengedepankan ilmu dan akhlak membutuhkan sikap saling menghargai, saling memaafkan, dan saling menasihati dengan kelembutan. Tidak boleh ada tempat untuk dendam atau permusuhan di antara kita. Senior dan junior harus saling menyayangi dan menghormati, tidak membeda-bedakan satu sama lain karena status, karena pada dasarnya, kita semua adalah umat Rasulullah saw yang dituntun untuk meneladani akhlak mulia beliau. Setiap kali ada kesalahan, mari kita rangkul dan beri nasihat dengan kelembutan, bukan dengan penghakiman. Seperti yang diteladankan oleh Rasulullah, menghadapi permasalahan dengan hati yang lapang dan pemaafan yang tulus.