
Dalam Islam, tamu menduduki posisi yang cukup tinggi. Saking tingginya, memuliakan tamu dijadikan salah satu di antara perkara keimanan. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah ﷺ dalam Shahih Bukhari:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya.”
Dalam hadits yang lain, ‘Uqbah bin ‘Amir pernah mengadu kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah ﷺ, apabila suatu saat engkau mengutus kami dalam sebuah rihlah, kemudian kami singgah sebentar ke salah satu pemukiman warga setempat, namun mereka tidak menyuguhkan kami dengan apapun. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini, wahai Rasulullah ﷺ?”
Kemudian beliau menjawab:
“Apabila kalian bertamu kemudian tuan rumah menyuguhkan apa yang seharusnya kalian dapatkan sebagai tamu, maka terimalah. Jika mereka tidak melakukannya, ambillah dari mereka hak bertamu kalian.” (HR. Muslim).
Lantas, benarkah tamu sepenting itu? Siapakah tamu yang dimaksud? Apa saja hak tamu?
Untuk menjawab itu, saya akan banyak bersandar kepada Ibnu Abi ad-Dunia, seorang ulama abad ke-3 yang wafat tahun 281 hijriah. Seorang ulama yang kredibilitasnya tidak diragukan lagi. Imam Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala mengompilasikan testimoni ulama lain atas keunggulan beliau dalam dunia keilmuan. Lewat karyanya, Qira adh-Dhaif yang berisi kumpulan hadits lengkap dengan sanadnya tentang tamu, saya mencoba untuk membahas lebih jelas hal di atas, dan Anda akan temukan jawabannya setelah titik berikut ini.
Siapakah Tamu?
Apakah perlu undangan untuk dapat disebut sebagai tamu? Apa yang datang tanpa undangan bukan tamu? Dalam Al-Qur’an surat Al-Hijr ayat 51, Allah mengisahkan rombongan malaikat yang datang ke rumah Nabi Ibrahim lalu sambang ke rumah Nabi Luth. Mereka berdua tidak mengundang para malaikat. Namun, kedatangannya yang tanpa undangan tidak membuat mereka keluar dari sebutan tamu. Sebab, dalam ayat tersebut Allah membahasakan mereka sebagai Dhaif yang dalam bahasa Indonesia artinya tamu.
Dalam banyak hadits juga tidak sedikit redaksi yang mengisahkan tamu yang tiba-tiba sambang. Seperti hadits yang dinukil pada alinea pertama. Bahkan, dalam hadits yang lain, Anas bin Malik mengisahkan seorang sahabat yang tidak mengundang tamu, tiba-tiba ditawari untuk menyuguhi tamu. Dengan percaya diri lelaki ini mengambil tawaran Sang Nabi. Setibanya di rumah, istrinya bertanya heran:
“Siapa dia, wahai suamiku?”
“Dia adalah tamu Rasulullah ﷺ.”
Terkejut mendengarnya, lisan sang istri spontan bersumpah:
“Demi Allah dzat yang mengutus Muhammad, tidak ada apa pun di rumah kita selain gandum yang hanya untuk makan malam kita.”
Berusaha menenangkan, lelaki Anshar ini memerintahkan istrinya untuk memasak sisa gandum tadi menjadi bubur. Namun sebelum itu, ia berpesan kepada istrinya, saat sudah matang, matikanlah penerangan lalu berpura-puralah mengunyah, sehingga tamu mengira kamu sedang makan. Setelah makan, tamu lalu pergi. Ketika pagi tiba, ia salat Subuh bersama Rasulullah ﷺ. Seusai salat, Rasulullah ﷺ bertanya kepada para sahabat yang berada di belakangnya:
“Di mana orang yang semalam menyuguhkan tamu saya?”
Lelaki ini hanya diam. Sampai Rasulullah ﷺ bertanya sebanyak tiga kali, barulah ia menjawab:
“Saya, wahai Rasulullah ﷺ.”
Beliau bersabda:
“Jibril berkata kepadaku bahwa Allah swt senang sekali dengan perbuatanmu semalam.”
Sehingga turunlah ayat 9 surat Al-Hasyr yang menjadi saksi abadi atas kedermawanannya.
Memang dalam keadaan yang lain, tamu secara formal diundang oleh tuan rumah. Hal ini biasanya terjadi pada walimah pernikahan atau acara lainnya yang sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia secara umum. Seperti acara syukuran khitan, tujuh bulanan, aqiqahan, empat puluh harian, dan lain sebagainya. Bahkan menghadiri undangan pernikahan dihukumi wajib oleh mayoritas ulama, dengan syarat dan ketentuan berlaku. Di antaranya adalah apabila seseorang diundang secara personal oleh pemangku hajat, maka wajib untuk menghadiri undangannya selama tidak ada uzur syar’i. Adapun memenuhi undangan kafir dzimmi maka dihukumi sunnah.
Apa Hak Tamu?
Ibnu Abi ad-Dunia dalam kitabnya meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan hak tamu yang menjadi kewajiban tuan rumah untuk memenuhinya. Dalam hadits tersebut Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. Hak bertamu adalah tiga hari. Lebih dari itu maka terhitung sebagai sedekah. Tidak selayaknya seseorang menetap di rumah saudaranya sampai membuatnya terjatuh dalam perbuatan dosa.”
Hadits ini menjadi landasan hukum bahwa hak bertamu adalah tiga hari. Selama itu, tuan rumah wajib memenuhi kebutuhan tamu sesuai dengan kadar kemampuannya dan tidak melampaui batas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Maimun bin Mihran (117 H), seorang ulama besar dari kalangan tabi’in:
“Apabila seorang tamu sambang ke rumahmu, maka jangan memaksakan sesuatu yang di luar batas kemampuanmu. Berilah makanan dari apa yang kamu makan. Karena sesungguhnya jika engkau memaksakan sesuatu yang di luar batas kemampuanmu, khawatir engkau akan menemuinya dengan wajah yang tidak ia senangi.”
Di sisi lain, dalam hadits di atas Rasulullah ﷺ bukan hanya mengajarkan kepada tuan rumah tentang hak tamu, namun juga mengajarkan kepada tamu agar tidak memberatkan tuan rumah dengan berlama-lama singgah di rumahnya sehingga ia jatuh ke dalam dosa.
Hendaknya tamu apabila telah selesai menunaikan hajatnya kepada tuan rumah, segera pamit dan tidak membicarakan sesuatu yang tidak perlu. Hal ini ditegaskan langsung oleh Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 53:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah nabi, kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu masaknya. Tetapi jika kalian diundang, masuklah. Apabila kalian telah selesai makan, pamitlah tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu mengganggu nabi sehingga ia malu kepada kalian (untuk menyuruh keluar). Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.”
Apa Pentingnya Melayani Tamu?
Selain menjadi salah satu tanda keimanan, melayani tamu juga memiliki banyak keutamaan seperti yang disampaikan Rasulullah ﷺ dalam haditsnya. Di antaranya adalah mempercepat datangnya kebaikan ke rumah yang di dalamnya terdapat makanan yang dimakan oleh tamu, kecintaan Tuhan terdapat pada makanan yang dimakan oleh banyak tangan, dan lain sebagainya. Sebagai muslim, tidak seharusnya mencukupkan diri hanya dengan dalil tekstual saja. Namun, seyogyanya juga mencari penalaran dari teks-teks suci tersebut.
Mengapa menerima tamu bisa begitu besar pahalanya? Apa yang membuatnya menjadi salah satu yang penting dalam pengamalan iman? Nilai apa yang ingin Islam angkat lewat memuliakan tamu? Setidaknya ada tiga teladan yang ingin ditampilkan dalam hal ini:
- Jiwa Sosial
Dalam Islam, Allah swt bukan hanya disembah lewat salat dan puasa. Tapi juga disembah lewat interaksi dengan alam dan segala komponen yang ada di dalamnya, terutama dengan sesama manusia. Bertamu menjadi salah satu media yang mewadahi tumbuhnya jiwa sosial antar umat manusia yang saling membutuhkan. Dalam bertamu, tidak ada syarat yang memberatkan dua belah pihak. Tamu tidak disyaratkan harus membawa bingkisan untuk tuan rumah, tuan rumah juga tidak diwajibkan menyuguhkan tamu di luar batas kemampuan. Hal ini mengajarkan bahwa dalam bersosial tidak perlu banyak motif. Tidak perlu mencari alasan signifikan untuk sekadar sambang menyambung tali kasih sayang. - Menjaga Perasaan
Rasulullah ﷺ sebagai manusia panutan sejagat raya ini memiliki sifat malu yang luar biasa. Bahkan dalam asy-Syifa, Al-Qadhi ‘Iyadh mengutip sebuah hadits yang mengabarkan bahwa sifat malu Rasulullah ﷺ melebihi malunya seorang gadis. Sifat malunya inilah yang mencegah lisannya mengucapkan sesuatu yang melukai hati seseorang. Sifat inilah yang menahan perbuatannya menggores perasaan orang lain. Beliau sangat menjaga perasaan orang lain. Siapapun yang bertamu kepadanya tidak pernah kecewa. Bagaimana tidak? Beliau tidak pernah mengatakan tidak kepada seseorang yang memintanya. Bertamu menjadi medan yang mendidik masing-masing pihak untuk saling menjaga perasaan tanpa melupakan hak dan kewajiban. Tuan rumah berusaha menunaikan hak tamu dengan sebaik-baiknya bahkan melebihkan dari yang seharusnya diberikan. Tamu juga tidak semena-mena menggunakan hak bertamunya. Berupaya untuk segera menyelesaikan hajatnya lalu pergi berpamitan. - Memasukkan Kebahagiaan
Dalam sebuah hadits riwayat ath-Thabrani dalam Jami’ ash-Shagir, Rasulullah ﷺ bersabda bahwa di antara amal yang paling dicintai oleh Allah swt adalah memasukkan kebahagiaan ke dalam hati seorang mukmin dengan cara memberikan jalan keluar untuk masalahnya, melunaskan hutangnya, atau mengobati laparnya. Dalam bertamu, biasanya ada banyak motif yang mendorong kaki seseorang untuk melangkah ke rumah saudaranya. Tidak jarang tamu yang datang dengan beragam masalahnya. Mulai dari terlilit hutang, terhimpit keadaan darurat, dan kebutuhan lainnya. Hendaknya sebagai tuan rumah, selain menyuguhkan makan dan minumnya, cobalah untuk mengurai kerumitan hidupnya dengan memberikan apa yang menjadi kebutuhannya meski hanya sedikit. Sehingga tamu tidak pulang dengan tangan hampa. Sebab, saat langkah kakinya menentukan rumah Anda sebagai tujuannya, hatinya menaruh harapan besar kepada Anda. Bahwa andalah yang menjadi solusi yang menenangkan kekalutan isi kepalanya. Di antara banyak nama yang ada dalam ingatannya, nama Anda yang dia jadikan taruhan nasibnya.
Begitupun untuk para tamu undangan yang diundang secara khusus. Sempatkanlah untuk menghadiri undangan tuan rumah. Dalam undangan itu ada cinta yang tidak terlihat mata Anda. Pada hari bahagianya, pemangku hajat ingin Anda melengkapi kebahagiannya. Sebab tidak ada orang yang mengundang orang yang ia benci. Karena kalau benci, jangankan kehadirannya, namanya saja sudah lupa. Itulah mengapa menjawab undangan dihukumi wajib dalam Islam. Rasulullah ﷺ telah mencontohkan hal ini. Beliau selalu menghadiri undangan sahabatnya dari berbagai kalangan. Beliau tidak pilih kasih. Bahkan, masing-masing sahabatnya merasa bahwa dirinya adalah sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah ﷺ.
Begitupun dalam hal mengundang. Rasulullah ﷺ saat mengadakan walimah pernikahannya dengan Zainab binti Jahsyi mengundang seluruh koleganya. Baik dari kalangan anshar maupun muhajirin.
Semoga sedikit-banyak kita bisa meneladani nilai-nilai luhur yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada umatnya. Bukan hanya mengamalkannya secara zahir, namun juga merealisasikan maqashid dari setiap syariat yang dibumikan. Dengan ini, tidak diragukan lagi bahwa tamu membawa berkah dan mengangkat petaka. Lalu, bagaimana jika yang bertamu adalah penjahat?