Rajab dalam  Konteks Historis Arab dan Kehidupan Modern

“Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan pertemukanlah kami dengan Ramadhan.”

Rajab merupakan salah satu di antara empat bulan harām dalam Islam, yaitu bulan yang dimuliakan karena memiliki banyak keutamaan di dalamnya. Statusnya sebagai bulan “harām” merupakan predikat yang langsung bersumber dari syāri’ sebagaimana terdapat pada Q.S. Al-Baqarah: 217:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ

Nabi SAW. kemudian menjelaskan jumlah hitungan bulan dalam Islam yaitu dua belas bulan, sekaligus menerangkan bahwa empat bulan di antaranya merupakan bulan-bulan ḥarām.

عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال :  إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا ، منها أربعة حرم : ثلاث متواليات : ذو القعدة ، وذو الحجة ، والمحرم ; ورجب 

Secara definitif, Rajab merupakan bulan ketujuh dari dua belas bulan dalam satu tahun menurut penanggalan Islam. Terlepas dari itu, secara literal Rajab merupakan kata yang terdiri dari tiga huruf, yaitu Ra’, Jim, dan Ba’. Di antara kebiasaan para ulama ialah mencari padanan makna dari masing-masing huruf ketika mencoba menjelaskan hikmah di balik suatu makna kata. Dari situ, dalam Majālis al-Anwār disebutkan bahwa huruf Ra’ pada kata Rajab menunjukkan Rahmat Allah, dan huruf Jim menunjukkan Jurm al-‘Abdi, sedangkan Ba’-nya menunjukkan Birr Allah. Seolah-olah Allah hendak mengatakan kepada hamba-Nya bahwa kesalahan yang mereka perbuat berada di antara Birr (derma) dan Rahmat-Nya (kasih) maka tidaklah kesalahan hamba tersebut kekal baginya dengan kemuliaan bulan Rajab. Pengertian yang dibuat dengan metode seperti itu berbeda dengan “cocoklogi”, melainkan upaya penggalian (al-juhdu wal badzlu) makna yang dilakukan guna menemukan “benang merah” antara penamaan atas sesuatu terhadap maksud dan tujuan darinya yang dikehendaki oleh pemberi nama sebab tidaklah Allah SWT. menjadikan sesuatu dalam ciptaannya secara sia-sia belaka (‘abatsan).

Lebih lanjut, Syekh Utsman dalam Durratu An-Nāṣihīn menyebutkan bahwa penamaan bulan tersebut dengan Rajab dikarenakan masyarakat Arab saat itu begitu mengagungkan bulan tersebut. Dalam ungkapan Arab dikatakan “rajabta syai’an” bermakna “’adzhamtahu” yang berarti “engkau mengagungkannya.” Dan di antara bentuk pengagungan yang dilakukan terhadap bulan Rajab yaitu dibukanya pintu Ka’bah sepanjang bulan tersebut di mana jika pada bulan-bulan yang lain pintu Ka’bah hanya dibuka pada hari Senin dan Kamis. Hal tersebut dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa dikarenakan Rajab adalah Syahrullah dan Ka’bah adalah Baitullah, maka tidaklah seorang hamba terhalang -dari memasuki- rumah Allah tersebut pada bulan-Nya.

Penjelasan terkait keutamaan bulan Rajab dan bulan harām lainnya kiranya telah banyak tersebar dalam berbagai sumber bacaan yang dapat diakses dengan mudah oleh pembaca yang budiman. Selain anjuran dan keutamaan berpuasa di dalamnya, Rajab juga menyimpan keutamaan mengenai amal-amal baik (ketaatan) yang balasannya akan dilipatgandakan sebagaimana juga perbuatan buruk (dosa dan maksiat) yang dilipatgandakan ganjarannya. Dalam menjelaskan redaksi ayat “قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ قٌلْ“, Syekh Utsman mengutip penjelasan dari Khozīnat Al-‘Ulamā’ yang menerangkan “bahwa al-Ghadru yang berarti suatu bentuk pengkhianatan, kecurangan, penipuan, ketidaksetiaan yang dilakukan pada bulan Rajab keburukannya menjadi lebih besar sebab kemuliaan Rajab di sisi Allah SWT. sebagaimana suatu ketaatan yang dikerjakan di dalamnya akan dilipatgandakan (Muḍā’afah).

Dalam tradisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam mereka telah mengagungkan Rajab dan bulan-bulan lainnya sebagai suatu tradisi yang diwariskan dari ajaran Ibrahim AS. dan Ismail AS. di mana mereka mengharamkan di dalamnya Al-Qitāl (pembunuhan) dan Al-Ḥarb (peperangan). Sayangnya warisan tersebut tidak dapat dijaga dengan baik mengingat mereka adalah masyarakat yang dekat dan identik dengan peperangan itu sendiri (Aṣḥābu al-ḥurūb wa al-gārāt), seolah perang merupakan “satu-satunya” cara dalam menyelesaikan masalah. Perang dan pertumpahan darah akan sangat mudah terjadi begitu terdapat friksi yang muncul antar individu maupun kelompok masyarakat/klan (qabīlah) sehingga sulit rasanya untuk melihat bagaimana masyarakat Arab Jahiliyah menjaga dan mempertahankan warisan ajaran Ibrahim dan Ismail tersebut sehingga pada gilirannya apabila terjadi peperangan yang bertepatan dengan bulan-bulan tersebut akan sulit bagi mereka untuk meninggalkannya maka kemudian mereka mengubah status ke-ḥarām-annya dan menganulirnya pada bulan-bulan yang lain demi menghalalkan perang tersebut.

Al-Qur’an (Q.S. At-Taubah: 37) kemudian memberikan komentar terhadap perbuatan tersebut dan memerintahkan agar mereka tetap pada ketentuan yang telah Allah tetapkan serta tidak melanggarnya.

لِّيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ

Selain menyalahi ketentuan takhṣiṣ tersebut, bahkan masyarakat Arab Jahiliyah juga menambah hitungan jumlah bulan – dalam satu tahun – menjadi tiga belas atau empat belas bulan. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Durratu An-Nāṣihīn dan dikuatkan dengan riwayat dari Hushain dari Abi Malik:

قال: كانوا يجعلون السنة ثلاثةَ عشر شهرًا, فيجعلون المحرَّم صفرًا, فيستحلُّون فيه الحرمات. فأنـزل الله إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةً فِي الكُفْرِ

Ath-Thabari dalam tafsirnya mencatat maksud dari “إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ” pada ayat tersebut sebagaimana berikut:

إنما التأخير الذي يؤخِّره أهل الشرك بالله من شهور الحرم الأربعة، وتصييرهم الحرام منهن حلالا والحلال منهن حرامًا

Bahwa penundaan (ta’khīr) yang dilakukan oleh orang-orang musyrik tersebut adalah penundaan terhadap empat bulan ḥarām, dan mereka menghalalkan -bulan- yang haram dan mengharamkan -bulan- yang halal.

Dari konteks historis berkenaan dengan penamaan dan status kemuliaan bulan Rajab sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, kita dapat melihat bagaimana komitmen terhadap ajaran dan ketentuan yang telah ditetapkan Syāri’ adalah kewajiban mutlak yang dipertahankan eksistensinya oleh setiap hamba. Mengubah atau menganulir ketentuan Syāri’ tanpa adanya legalitas yang benar sama dengan suatu bentuk pembangkangan atas perintahnya yang hanya akan membawa seorang hamba pada “kehancuran”. Tidak hanya hubungan spiritual-vertikal antara hamba dengan Tuhannya saja yang dapat rusak, namun juga hubungan sosial-horizontal antar sesama -ḥablun minannās- dapat terganggu. Efeknya tidak lain adalah pertikaian itu sendiri.

Sekilas kita melihat seolah ketentuan yang telah Allah tetapkan -bagi bangsa Arab saat itu- bertentangan dengan kebiasaan dan “kemaslahatan” mereka karena kerap berbenturan dan cara dan gaya hidup masyarakatnya. Padahal jika dilihat lebih jauh, ketentuan tersebut -yaitu pelarangan atas pertumpahan darah di bulan-bulan ḥarām- dapat meminimalisir tingginya angka pertikaian antar kelompok masyarakat dengan menahan diri untuk tidak melulu menyelesaikan suatu permasalahan dengan hunusan pedang. Dari situ diharapkan dapat membentuk semacam solusi baru yang dapat mereka tempuh saat terjadinya gesekan antar kelompok di bulan-bulan tersebut. Dengan membuka diri terhadap satu sama lain dalam menghadapi suatu persoalan guna menemukan kalimatun sawā, kita memberikan peluang yang lebih lebar lagi bagi terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang harmonis, adem, ayem, dan tentrem.

Fakta historis di atas tidak hanya menunjukkan betapa pentingnya menjaga integritas spiritual individu dalam menjalankan peran-peran kehambaan serta komitmen sosial dalam mempertahankan warisan/tradisi positif yang dibawa oleh umat terdahulu, tetapi juga sekaligus memberikan kesadaran dan pemahaman baru bahwa dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia khususnya -serta seluruh kaum muslimin pada umumnya- seperti sekarang ini di mana perang yang terjadi bukan lagi soal busur panah yang melesat ke arah musuh ataupun mata pedang yang terhunus ke leher lawan melainkan soal amarah yang meluap, emosi negatif yang kerap merugikan diri, lisan yang tak jarang melukai hati, serta perilaku-perilaku distrubtif lainnya yang dapat menjerumuskan seseorang dalam kebinasaan, adalah juga peperangan yang sesungguhnya. Karena itulah Nabi SAW pernah bersabda:

أَشَدُّ الجِهَادِ جِهَادُ الهَوَى
“Jihad yang paling besar adalah melawan hawa nafsu.”

Di bulan yang mulia ini, mari kita bersama-sama saling mengintrospeksi diri, merajut tali silaturahmi yang barangkali telah putus di sana-sini, melatih diri untuk fokus pada pengembangan kualitas ihsan dan takwa, bersiap menyambut hadirnya Ramadhan: bulan mulia nan suci. Wallahu a’lamu bi ṣawāb.