
Pada satu kesempatan, Syekh Jabir al-Baghdadi, salah satu ulama tersohor asal Mesir saat ini, menyampaikan sebuah rahasia yang terkandung di dalam dua surat berdampingan sesuai urutan mushaf, Al-Ma’un dan Al-Kautsar. Melalui pendekatan ilmu yang disebut dalam Ulum al-Qur’an sebagai Ilmu al-Munasabat fii al-Qur’an, beliau mencoba menyingkap pesan penting yang terkubur di antara dua surat tersebut.
Dengan bersandarkan kepada kitab-kitab yang secara khusus membahas ilmu tersebut, seperti Tanasuq ad-Durar fii Tanasub as-Suwar karya As-Suyuthi (911 H) atau karya Abdullah al-Ghumari (1413 H) yang berjudul Jawahir al-Bayan fii Tanasub Suwar al-Qur’an, beliau menerangkan bahwa surat Al-Ma’un menyebutkan empat hal yang membinasakan. Sedangkan penangkal dari empat hal tersebut ada di dalam surat setelahnya, yaitu Al-Kautsar.
4 Hal yang Membinasakan
1. Kekufuran
Hal ini disebutkan dalam ayat pertama surat Al-Ma’un ketika Allah SWT berfirman:
أَرَءَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?” (QS. Al-Ma’un: 1)
Kekufuran menjadi pangkal kebinasaan yang menyebabkan seseorang terperosok ke dalam neraka, menjadi bahan bakar kekal selamanya.
“Takutlah pada api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 24)
Sebab, kekufuran mampu meruntuhkan segala bentuk amal shalih. Sebagaimana yang Allah SWT nyatakan dalam surat Al-Kahf ayat 105:
“Mereka itu adalah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhannya dan (kufur pula terhadap) pertemuan dengan-Nya. Maka, amal mereka sia-sia, dan Kami tidak memberikan penimbangan terhadap (amal) mereka pada hari Kiamat.”
Setelah itu, Allah SWT menyebutkan bentuk kekufuran yang membinasakan adalah mereka yang menghardik anak yatim.
2. Kikir
وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ
“Dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma’un: 3)
Kikir merupakan salah satu sifat tercela dalam Islam. Hingga dalam Al-Qur’an, Allah mengancam orang bakhil dan orang yang mengajak orang lain untuk pelit dengan azab yang pedih.
“(Yaitu) orang-orang yang kikir, menyuruh orang (lain) berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan.” (QS. An-Nisa: 37)
Tidak cukup sampai di sana, untuk menjauhkan manusia dari sifat buruk ini, Allah SWT sampai harus menggambarkan secara nyata bentuk azab yang akan diderita oleh orang yang mengidap penyakit ini.
“Jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan karunia yang Allah anugerahkan kepadanya mengira bahwa (kekikiran) itu baik bagi mereka. Sebaliknya, (kekikiran) itu buruk bagi mereka. Pada hari Kiamat, mereka akan dikalungi dengan sesuatu yang dengannya mereka berbuat kikir. Milik Allahlah warisan (yang ada di) langit dan di bumi. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)
Bukan hanya di akhirat, mereka yang kikir akan diazab lebih dulu di dunia sebelum nanti merasakan azab kekal di neraka. Sebagaimana Allah SWT kabarkan dalam surat Al-Lail ayat 8-10:
“Adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah) serta mendustakan (balasan) yang terbaik, Kami akan memudahkannya menuju jalan kesengsaraan.”
Ibnu Katsir (774 H) mengatakan dalam tafsirnya bahwa orang bakhil akan dimudahkan baginya jalan menuju kehinaan.
3. Riya
Tidak berbeda dengan dua hal sebelumnya, riya juga merupakan salah satu sebab kebinasaan. Sudah maklum bahwa riya adalah keinginan manusia untuk dilihat orang lain atas kebajikan yang ia lakukan. Sehingga, sejatinya dia hanya sedang mencari pengakuan manusia dan menujukan amal perbuatannya untuk selain Allah SWT.
Padahal, riya bukan hanya sebatas itu saja. Saat seseorang meninggalkan sebuah amal saleh karena khawatir disebut riya, itu juga masuk ke dalam perbuatan riya. Al-Baihaqi (458 H) mengutip kalam Al-Fudhail bin ‘Iyadh (187 H) dalam kitab Syu’ab al-Iman, beliau berkata:
“Meninggalkan amal saleh karena manusia adalah riya, beramal untuk manusia adalah syirik, dan ikhlas adalah ketika Allah SWT menyelamatkanmu dari keduanya.”
Oleh karena itu, disebutkan bahwa riya adalah bentuk lain yang lebih kecil dari perbuatan syirik. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits riwayat Ahmad (241 H):
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya’.”
Keberadaannya yang sulit terdeteksi oleh hati yang lalai membuat riya menjadi salah satu kerusakan yang mesti diwaspadai. Dia tidak menyerang ahli maksiat, melainkan orang saleh dengan segudang ibadah yang menjadi targetnya. Sehingga, banyak dari mereka yang tertipu, merasa aman dengan ibadahnya. Padahal, perlahan riya sedang menggerogoti pahalanya dengan menanamkan rasa bangga dan perasaan lebih baik dari orang lain ke dalam hati penderitanya.
Mengingatkan tentang bahayanya hal ini, Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa riya bisa lebih berbahaya dari fitnah Dajjal. Beliau bersabda:
“Maukah aku kabarkan kepada kalian sesuatu yang lebih tersembunyi di sisiku atas kalian daripada Masih ad-Dajjal?” Beliau menjawab, “Yaitu syirkul khafi; yaitu seseorang shalat, lalu menghiasi (memperindah) shalatnya, karena ada orang yang memperhatikan shalatnya.” (HR. Ibnu Majah [273 H])
Dalam hal ini, Al-Ma’un menyinggung secara terang-terangan tentang orang yang salatnya lalai lagi riya. Sekali-kali salat yang seperti ini tidak akan menyelamatkan pelakunya dari neraka. Justru, Allah SWT telah menyediakan Neraka Saqar khusus bagi orang-orang yang tidak menunaikan salat sebagaimana mestinya.
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ
“Celakalah orang-orang yang melaksanakan salat, (yaitu) yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma’un: 4-6)
4. Menahan Bantuan
Nama surat ini diambil dari salah satu kata yang terdapat pada akhir ayatnya.
وَيَمْنَعُونَ ٱلْمَاعُونَ
“Dan enggan (memberi) bantuan.” (QS. Al-Ma’un: 7)
Kata al-Ma’un dalam ayat tersebut setidaknya memiliki empat tafsiran, sebagaimana yang dipaparkan oleh Ath-Thabari (310 H) dalam tafsirnya:
- Ali bin Abi Thalib (40 H) mengartikan al-Ma’un sebagai zakat.
- Ibnu Mas’ud (32 H) menafsirkannya sebagai barang yang biasa dipinjam oleh orang-orang, seperti ember, ketel, atau kapak.
- Muhammad bin Ka’ab (120 H) memaknainya sebagai kebaikan.
- Sa’id bin al-Musayyib (105 H) menjelaskan bahwa al-Ma’un biasa digunakan oleh suku Quraisy dengan artian harta.
Dari keempat makna ini, Ath-Thabari menyimpulkan bahwa orang tercela yang disebutkan dalam ayat ini adalah mereka yang gemar menghalangi hak orang lain. Mereka tidak memakannya, hanya menahan hak tersebut dari pemiliknya. Akibatnya, pemilik hak kesulitan dalam kesempitan karena sesuatu yang menjadi haknya ditangguhkan.
Contohnya, penangguhan upah kerja tanpa alasan yang signifikan. Sehingga, bermunculan istilah-istilah yang sebenarnya hanya alasan yang dibuat-buat untuk membenarkan perbuatan buruk itu. Padahal, Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan tentang bahayanya menahan hak orang lain walau hanya sejengkal tanah:
“Barangsiapa yang mengambil hak orang lain walau hanya sejengkal tanah, maka akan dikalungkan ke lehernya (pada hari Kiamat nanti) seberat tujuh lapis bumi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penangkal 4 Petaka
Di antara hikmah urutan surat Al-Kautsar yang berada setelah surat Al-Ma’un adalah sebagai solusi dari permasalahan yang disebutkan tadi. Seakan Allah SWT mengisyaratkan agar kita segera mengobati keempat hal yang membinasakan seorang hamba dengan penawarnya yang terdapat pada surat Al-Kautsar.
Perlu kita ketahui bersama bahwa urutan surat dalam mushaf merupakan sesuatu yang disebut dalam istilah ulama sebagai perkara tauqifi. Seperti yang disimpulkan oleh Abdul Karim Yunus al-Khatib (1406 H) dalam kitabnya, At-Tafsir al-Qur’ani lil Qur’an. Artinya, dalam penyusunan surat-surat dalam mushaf murni wahyu dari Allah SWT melalui Rasulullah ﷺ tanpa ada campur tangan pemikiran Rasulullah maupun para sahabatnya. Karenanya, pasti ada rahasia di balik peletakan dua surat yang berdampingan ini.
Lalu, apa saja penghalang yang dapat menangkal empat petaka itu?
Penangkal itu dirangkum dalam satu ayat pendek di dalam surat paling pendek dalam Al-Qur’an:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ
“Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!” (QS. Al-Kautsar: 2)
Ayat tersebut mengandung dua pelindung yang ampuh menjaga orang yang bernaung di bawahnya.
1. Melaksanakan Salat karena Allah SWT
Pada surat Al-Ma’un ayat 4-6, Allah SWT mengecam orang yang salatnya lalai lagi riya bahwa mereka akan celaka. Maka, ayat 2 surat Al-Kautsar menjadi solusi yang tepat untuk itu.
Perhatikan bagaimana Allah SWT menegaskan perintah salat dalam ayat ini dan mengingatkan kita agar melaksanakannya karena Allah SWT. Seolah Allah SWT mengatakan kepada kita agar tetap salat meski kadang rasa riya itu muncul tiba-tiba. Bukan malah meninggalkan salat karena takut riya. Namun, tetaplah salat sembari terus berupaya ikhlas mempersembahkannya kepada Allah semata.
Salat juga sekaligus menjadi tanda keislaman seseorang. Sebab, kekufuran tidak mungkin bersandingan dengannya. Salatlah yang menjadi pembeda antara muslim dan kafir. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ dalam hadits riwayat Muslim (261 H):
“Sesungguhnya, batas antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.”
Jika salat dilaksanakan sebagaimana mestinya dan diperuntukkan hanya untuk Allah SWT, niscaya salat akan melindungi pelakunya dari kekufuran dan riya.
2. Berkurban
Syariat berkurban mengajarkan umat muslim untuk memaksa menyembelih ketamakannya terhadap harta dunia serta mendermakannya di jalan Allah sebagai bentuk investasi akhirat.
Meski tidak wajib, berkurban sangat dianjurkan bagi yang memiliki kemampuan untuk membeli hewan kurban. Tidak mesti yang mahal, cukup yang memenuhi syarat yang ditetapkan dalam syariat dan tentu diiringi dengan keikhlasan niat. Mengingat, ritual ibadah yang satu ini hanya dilaksanakan setahun sekali. Di antara 365 hari dalam setahun, tidak mampukah kita untuk membahagiakan orang lain lewat berkurban?
Hari raya Iduladha merupakan hari bahagia. Semua merasakan kebahagiaan dengan menikmati santapan halal yang penuh keberkahan. Hal ini diumumkan langsung oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 36:
“Maka, sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya, sedangkan unta itu) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Lalu, apabila telah rebah (mati), makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang berkecukupan dan orang yang meminta-minta.”
Berkurban tidak semestinya dijadikan momen berbangga-bangga dengan hewan sembelihan yang tidak murah harganya. Seharusnya, ia justru menjadi kesempatan untuk mengikis rasa kikir dan sifat suka menunda bantuan kepada orang lain.
Meski secara syariat berkurban hanya dilaksanakan setahun sekali, namun nilai-nilainya harus tetap melekat sepanjang masa pada diri seorang muslim yang baik. Sehingga, Iduladha bukan hanya menjadi ajang pamer kekayaan lewat hewan sembelihan. Sebab, sedikit pun helai bulunya atau tetes darahnya tidak mampu membeli keridhaan-Nya. Melainkan, takwalah yang menjadi penilaian Allah SWT pada hari itu.
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin.” (QS. Al-Hajj: 37)