Pesan Cinta Imam al-Ghazali dalam Ayyuhal Walad


Judul Buku : llmu yang Bermanfaat Dunia Akhirat (terj. Ayyuhal Walad)

Penulis : Imam al-Ghazali

Penerbit : Qudsi Media

Tahun Terbit : 2005

Tebal : 75 halaman

ISBN : 978-979-1149-58-7

 

Jika ada seorang santri yang mengajukan pertanyaan kepada gurunya, dan sang guru menjawabnya dalam bentuk sebuah karya, maka Ayyuhal Walad adalah salah satu contohnya. Kisahnya berawal dari seorang murid Imam al-Ghazali yang merenungi hakikat ilmu yang telah dipelajarinya, lalu merasa memerlukan pencerahan lebih dalam. Sebagai tanggapan atas kegelisahan itu, Imam al-Ghazali pun menulis Ayyuhal Walad, sebuah buku yang memuat nasihat-nasihat langsung dari sang guru kepada muridnya. Meski ditulis dalam bentuk dialog personal, pesan-pesan di dalamnya bersifat universal dan dapat menjadi pedoman siapa saja yang tengah menapaki jalan pencarian makna hidup.

Dibandingkan dengan karya-karya Imam al-Ghazali lainnya, Ayyuhal Walad memiliki struktur yang ringkas dan bahasa yang lugas. Namun, kedalaman maknanya tidak kalah kuat. Pembaca akan merasa seakan-akan sedang dinasihati langsung oleh sosok guru agung yang penuh kasih. Dengan pembacaan yang tenang dan hati yang terbuka, buku ini akan menjelma menjadi cermin batin yang mengarahkan pembacanya untuk merenungi kembali niat, amal, dan tujuan hidup. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa Ayyuhal Walad adalah hadiah istimewa dari Imam al-Ghazali untuk setiap murid yang sungguh-sungguh belajar demi Allah.

Secara garis besar, buku ini membahas hubungan erat antara ilmu dan amal, keutamaan ilmu yang bermanfaat, pentingnya berguru kepada seorang mursyid, serta bagaimana menjaga hati dengan akhlak terpuji dan menjauhi sifat-sifat tercela.

Imam al-Ghazali menekankan pentingnya amal yang terus-menerus dilakukan, meski sedikit jumlahnya, sebagaimana ia tuliskan:

“Wahai anakku sayang, jangan engkau menjadi orang miskin dalam amal, dan jangan pula meremehkan amal yang kecil namun dilakukan secara konsisten. Yakinlah bahwa ilmu yang engkau miliki tidak akan meninggalkanmu, dan ia akan memberikan pertolongan dan kemanfaatan kepadamu.” (hal. 7)

Ia pun mengutip ayat-ayat Al-Qur’an seperti al-Kahfi: 107–110 dan Maryam: 59–60, yang menekankan pentingnya ilmu yang mendatangkan berkah. Begitu pula sabda Nabi Muhammad saw. tentang rukun Islam, serta penjelasannya tentang iman sebagai perpaduan ucapan, keyakinan, dan tindakan nyata.

Dalam pandangannya, amal perbuatan adalah bukti keimanan yang lebih utama dibanding sekadar ucapan. Oleh karena itu, para orang tua pun dianjurkan untuk menasihati anak-anaknya agar senantiasa berbuat baik, sebagaimana dijelaskan melalui penafsiran Imam al-Ghazali atas Al-A’raf: 56 (hal. 13).

Lebih lanjut, beliau menasihati para penuntut ilmu agar memeriksa kembali niat mereka. Apakah mereka belajar untuk kemuliaan dunia dan pujian manusia, atau demi mengikuti ajaran Rasulullah, memperbaiki akhlak, serta menundukkan hawa nafsu. Jika niatnya lurus, maka mereka akan menuai keberuntungan di akhirat (hal. 19–20). Sebaliknya, ilmu yang tidak diamalkan justru akan menjadi sebab penyesalan di akhirat kelak (hal. 22–23).

Imam al-Ghazali dengan tegas menyampaikan bahwa inti dari ilmu adalah melahirkan ketaatan. Segala ucapan, tindakan, dan sikap hendaknya sejalan dengan aturan syariat (hal. 29–30). Ia pun menganjurkan agar murid mencari jawaban atas persoalan kehidupan dengan mengacu pada karya lainnya, Ihya Ulum al-Din, yang mencakup empat pilar utama:

  1. keyakinan yang benar;
  2. taubat nasuha;
  3. memperbaiki hubungan dengan sesama;
  4. penguasaan ilmu syariat (hal. 32–33).

Imam al-Ghazali juga mengutip nasihat Imam Hatim al-A’sham yang telah belajar selama tiga puluh tahun dan merangkum tujuh manfaat ilmu:

  1. Sebagai teman hati;
  2. Jalan meraih rida Ilahi;
  3. Bentuk syukur;
  4. Sarana mencapai kemuliaan;
  5. Jalan menuju Tuhan;
  6. Pembeda antara kebenaran dan kebatilan;
  7. Kekayaan sejati (hal. 35).

Beliau menekankan pentingnya berguru kepada seorang mursyid. Seorang guru bukan sekadar penyampai ilmu, tetapi pembimbing akhlak. Pendidikan yang diberikan seorang guru diibaratkan seperti seorang petani yang merawat tanaman dari hama, agar tumbuh subur dan menghasilkan buah yang berkualitas (hal. 45). Nasihatnya mencakup ajakan untuk senantiasa menjaga sikap istiqamah, bertawakal, ikhlas, serta menjauhi penyakit hati seperti iri, riya, dan kebodohan.

Kesimpulan

Ayyuhal Walad adalah karya ringkas yang sarat makna. Buku ini bukan hanya membimbing akal, tetapi juga menyentuh kalbu. Ia mengajarkan bahwa ilmu sejati bukan sekadar diketahui, tetapi diamalkan, disucikan dengan niat yang benar, dan dilandasi cinta kepada Allah. Dalam dunia yang penuh hiruk pikuk pencarian ilmu, Ayyuhal Walad hadir sebagai lentera yang mengingatkan kita akan tujuan sejati: mengenal Tuhan, memperbaiki diri, dan berjalan dalam cahaya-Nya.