
Pada Kamis (3/7/2025), dalam kesempatan Khutbatul Arsy tahun ajaran 2025–2026, Mudir al-Ma’had Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza, K.H. Zahid Purna Wibawa, S.T., menyampaikan pesan mendalam tentang nilai-nilai kepondokan. Salah satu yang beliau tekankan adalah ajakan untuk merefleksikan kembali peran guru—bukan hanya sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai pembimbing ruhani. Dalam hal ini, peran guru sejati adalah sebagaimana seorang mursyid.
Di satu sisi, guru adalah penyampai ilmu. Ia mengajarkan pengetahuan kepada murid-muridnya dengan metode dan target pembelajaran yang telah dirancang. Keberhasilannya diukur dari sejauh mana murid memahami materi yang disampaikan.
Namun, Kiai Zahid mengingatkan bahwa ilmu sejati tidak berhenti pada pemahaman semata. Beliau mengutip Imam al-Ghazali, “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.” Ini menandakan bahwa keberhasilan seorang guru dan murid terletak pada pengamalan ilmu itu sendiri. “Karena itu harus sesuai dengan ilmu yang kita kuasai. Kalau belum menguasai, belajar,” ujar Kiai Zahid.
“Guru sejati bukan sekadar pengisi akal, tapi juga penuntun amal. Guru tidak hanya memberikan materi, tetapi juga membimbing bagaimana ilmu yang sudah disampaikan bisa diamalkan oleh anak-anak kita,” sambung beliau.
Dalam konteks inilah Kiai Zahid membedakan antara guru biasa dengan mursyid. Guru biasa hanya menyampaikan ilmu, sementara mursyid tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi “pembimbing ruhani”. Ia tidak sebatas menjelaskan apa itu Islam, melainkan mengajak untuk menjadi Islam. Ia tidak hanya menjelaskan batas halal dan haram, tetapi mencontohkan bagaimana menjauhi yang haram dan memanfaatkan yang halal.
Kiai Zahid juga menyampaikan ungkapan Imam al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah, bahwa mursyid adalah seseorang yang telah menyaksikan jalan menuju Allah, lalu menunjukkan jalan itu kepada orang lain dengan cahaya yang telah ia lihat sendiri.
Seorang mursyid bukan sekadar ‘alim (berilmu), tetapi juga ‘arif (mengenal Allah). Karena itu, seorang guru semestinya bijaksana dalam membimbing muridnya—bukan hanya cakap, tetapi juga memiliki qalbun salim (hati yang bersih), bukan qalbun marid (hati yang sakit), apalagi qalbun mayyit (hati yang mati).
“Mursyid memimpin bukan dengan perintah, tapi dengan keteladanan. Mursyid memberikan contoh,” lanjut Kiai Zahid. “Mursyid membentuk bukan hanya dengan kata, tapi juga dengan doa,” sambungnya. Dengan itu, guru memiliki sentuhan batin yang mampu memancarkan cahaya ruhani kepada murid-muridnya.

Hakikatnya, seorang guru tetaplah seorang murid. Artinya, guru harus terus belajar dan menuntut ilmu, karena murid sejati adalah yang senantiasa ingin mendekat kepada Allah. Kiai Zahid menyampaikan ungkapan Ibn Athaillah As-Sakandari, “Bukanlah murid itu yang bepergian dari satu negeri ke negeri yang lain, tetapi murid sejati adalah yang pergi dari hawa nafsunya menuju Tuhannya.” Ini menunjukkan bahwa tujuan utama dalam menuntut ilmu adalah Allah Swt. “Semakin berilmu, semakin dekat dengan Allah Swt.,” tegas beliau.
“Murid juga adalah seorang pencari, karenanya rendah hati,” tambahnya. Beliau pun mencontohkan B.J. Habibie, salah satu tokoh idola beliau, yang dengan rendah hati pernah berkata bahwa ilmunya hanya setetes air di lautan.
Kiai Zahid juga mengimbau agar para guru tidak berhenti belajar. Seperti pohon yang kuat akarnya, semakin dalam tertanam, semakin kokoh batang dan rimbun daunnya.
Beliau turut menyampaikan pesan Imam al-Ghazali dalam Ayyuhal Walad, bahwa para sālik (penempuh jalan ruhani) sebaiknya memiliki seorang mursyid yang membimbing mereka, membersihkan akhlak buruk dalam diri, dan menanamkan akhlak yang terpuji. Seorang mursyid ibarat petani yang membersihkan lahan dari hama, agar tanaman kebaikan tumbuh dengan subur.
Mursyid atau guru semacam ini adalah sosok yang berpaling dari cinta dunia dan kedudukan. Ia memperbaiki dirinya, melatih hawa nafsu, sedikit berbicara, sedikit tidur, sedikit makan, tetapi banyak salat, puasa, dan sedekah. Ia memiliki bashīrah (ketajaman batin) dan akhlak yang luhur. Meski sosok seperti ini sangat langka—sebagaimana “permata merah”—namun dapat menjadi inspirasi bagi guru untuk terus bertumbuh, memperbaiki diri, dan berusaha sebaik mungkin dalam mendidik murid-muridnya.