
Tulisan ini merupakan terjemahan dari artikel yang ditulis oleh guru kami, Ustadz Walid bin Faraj ‘Athiyyah. Beliau merupakan seorang ahli hadits asal Tunisia yang juga kompeten di berbagai disiplin ilmu agama lainnya seperti Akidah, Fikih, Ushul Fikih dan lain sebagainya. Sebagai ulama, beliau cukup produktif dalam menulis. Kesibukannya menuntut ilmu tidak menghalangi beliau untuk berderma melalui ilmunya. Adapun tulisan yang saya terjemahkan ini merupakan tulisan beliau yang tertulis di laman resminya pada 12 Maret 2022 lalu. Di sana beliau begitu gamblang menjelaskan hukum mencium tangan. Barangkali hal ini merupakan hal yang kita anggap biasa saja sebab sudah menjadi tradisi di Indonesia. Namun, lebih dari itu beliau menyingkap banyak faidah yang terdapat di dalam adab luhur ini. Penulis juga menambahkan beberapa hal yang juga berkaitan dengan adab mencium tangan. Karena itu, terjemahan ini hadir untuk meluaskan manfaatnya. Berikut penjelasannya.
Ramai orang bertanya tentang hukum mencium tangan. Khususnya pada zaman ini yang di dalamnya banyak yang hanya sekadar mengikuti hawa nafsu dan pendapatnya saja tanpa merujuk kepada ilmu yang sebenarnya. Akan tetapi, bagi orang yang sungguh-sungguh mencari sebuah kebenaran, merujuk kepada hadits-hadits nabi yang sahih, ajaran para sahabat dan pendapat para ulama, niscaya ia akan menemukan bahwa mencium tangan orang tua, ulama dan orang saleh hukumnya boleh menurut syariat. Bahkan hal itu merupakan salah satu di antara adab yang diajarkan Islam dalam menghormati orang yang mulia dan bertakwa. Berikut ini adalah paparan dalil mengenai hal tersebut:
Dari Shafwan bin ‘Asal al-Muradi (39 H) beliau mengisahkan bahwa ada dua orang Yahudi yang menghampiri Rasulullah ﷺ. Kemudian mereka bertanya tentang sembilan ayat yang Allah berikan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Rasulullah ﷺ menjawab pertanyaan mereka dengan lugas. Setelah mendengar jawaban itu, mereka berdua lantas mencium kedua tangan dan kedua kaki Rasulullah ﷺ serta mengikrarkan syahadat di hadapannya. Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi (279 H).
Dalam kitab al-Adab al-Mufrad, al-Bukhari (256 H) meriwayatkan dari Abdurrahman bin Razin (496 H), beliau bercerita dahulu kami mendatangi Salamah bin al-Akwa’ (74 H) dan membawakannya sehelai kain. Kemudian beliau mengelap tangannya dengan kain tersebut lalu berkata: “Tanganku ini pernah bersalaman dengan Rasulullah ﷺ ketika berbaiat kepadanya.” Seketika Abdurrahman mencium tangannya. Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Hajar al-Asqallani (852 H) dalam Fath al-Bari.
Ath-Thabrani (360 H), al-Baihaqi (458 H) dan al-Hakim (405 H) meriwayatkan dari asy-Sya’bi (103 H) bahwa suatu hari salah seorang sahabat Nabi ﷺ, Zaid bin Tsabit (45 H) sedang menyalati jenazah. Selepas itu, beliau bergegas untuk pulang menaiki kendaraannya. Lalu datang Abdullah bin Abbas (68 H) menghampirinya dan menuntun keledai yang ditunggangi Zaid bin Tsabit. Melihat itu, Zaid terkejut dan berkata: “Biarkan saya mengendarainya, wahai sepupu Rasulullah ﷺ.” Ibnu ‘Abbas menimpali: “Seperti inilah kami diajarkan memperlakukan ‘ulama dan orang-orang mulia.” Tanpa berkata-kata, Zaid menarik tangan Abdullah lalu menciumnya. Ia menjawab: “Seperti inilah kami diajarkan memperlakukan keluarga Rasulullah ﷺ.”
Pendapat Ulama terhadap Hukum Mencium Tangan
Dalam kitab Manaqib Ashab al-Hadits, Ibnu al-Jauzi (597 H) menganjurkan kepada setiap penuntut ilmu untuk bersikap rendah hati di hadapan gurunya. Beliau berkata: “Di antara sikap tawaduk adalah dengan mencium tangannya. Sufyan bin ‘Uyainah (198 H) dan Fudhail bin ‘Iyadh (187 H) keduanya pernah mencium tangan al-Husein bin ‘Ali al-Ju’fi (203 H).”
Imam Malik bin Anas (179 H) menjelaskan dalam Fath al-Bari bahwa hukum mencium tangan seseorang dengan rasa pengagungan yang berlebihan adalah makruh. Adapun jika mencium tangan kepada seseorang karena kesalehannya atau keilmuannya tentang agama maka hukumnya mubah. Hal serupa juga dipaparkan oleh Imam an-Nawawi (676 H), beliau berkata: “Mencium tangan seseorang karena zuhudnya, kesalehannya, ilmunya, kemuliannya atau hal lainnya yang merupakan ajaran Islam hukumnya tidak makruh bahkan sangat dianjurkan. Adapun hukum mencium tangan seseorang karena kekayaan hartanya, jabatannya atau kedudukannya di hadapan manusia sangat dimakruhkan.”
Adab Mencium Tangan
Meski sudah lumrah, masih banyak yang keliru dalam praktik mencium tangan. Misalnya, bukan mencium tangan dengan hidung, malah menempelkannya pada pipi atau kening. Ada juga yang hanya sekadar menyentuhkan telapak tangan tanpa berjabat. Selain itu, dalam mencium tangan ada batasan yang perlu diperhatikan. Seperti tidak perlu mencium tangan kepada yang bukan mahram. Selain menghindari fitnah, hal ini juga dilarang oleh agama. Oleh karenanya, penting sekali mengenali siapa saja yang menjadi mahram kita. Mereka adalah ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan ayah, saudara perempuan ibu, keponakan perempuan, ibu susu, saudara perempuan sepersusuan, ibu mertua, menantu dan anak tiri perempuan dari istri yang sudah disetubuhi oleh bapak tiri anak tersebut. Inilah mahram bagi laki-laki yang disebutkan Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 23. Kepada merekalah kita diperkenankan untuk mencium tangan.
Seperti yang dikatakan pada awal tulisan tentang mencium tangan yang membudaya di Indonesia. Hal ini banyak ditemukan di berbagai tempat pada momen spesial seperti saat lebaran, ramai kita saksikan kaum muda sambang dan sungkem kepada keluarga atau kerabat yang lebih tua. Tidak terkecuali di Pondok Pesantren Daar el-Qolam 3 Kampus Dza ‘Izza. Setelah kembali dari libur panjang, warga pondok dibiasakan untuk memperbaharui niat dan saling bermaafan dengan jabat dan mencium tangan. Kegiatan tersebut sarat akan nilai Islam yang mengajarkan pemeluknya untuk menyayangi yang muda dan menghormati yang tua. Tulisan ini menguatkan warna budaya yang melekat pada masyarakat Indonesia pada umumnya. Mendasarkan bahwa adat ini tidak bertentangan dengan adab Islam seperti sangkaan sebagian orang yang menilai mencium tangan bagian dari bentuk fanatisme kepada pribadi maupun kelompok tertentu. Lebih dari itu, mereka menganggap mencium tangan adalah rupa pengkultusan sosok yang seharusnya tidak diperlakukan lebih dari sekadar manusia biasa. Padahal dalam banyak literatur Islam dapat ditemukan hal ini sudah lebih dulu dicontohkan oleh generasi terbaik sepanjang zaman dan Rasulullah ﷺ pun tidak melarang. Sehingga, dengan demikian mencium tangan merupakan dalil yang dibudidayakan dan bukan sekadar budaya yang didalilkan.