
Hari raya Iduladha erat sekali kaitannya dengan kisah pengorbanan Ibrahim dan kesabaran anaknya, Ismail. Selain karena ada kesamaan peristiwa dengan syariat kurban yang disunnahkan pada hari tersebut, kisah itu juga mengandung banyak sekali pelajaran dan hikmah yang semestinya diunduh untuk kemudian dihidupkan dalam bentuk pengamalan sehari-hari. Sehingga, momen hari besar Islam tidak hanya sebagai seremonial tahunan yang berlalu begitu saja, melainkan jadi wadah muhasabah untuk meningkatkan iman dan takwa.
Di antara pelajaran berharga yang sering digaungkan di atas mimbar adalah tentang pengorbanan Ibrahim yang rela menyembelih anaknya dan kesabaran Ismail yang tunduk patuh kepada Allah SWT dan ayahnya. Bagaimana Siti Hajar yang tetap teguh saat setan datang menggoyahkan keimanannya. Gagal menggoda Hajar, setan tidak berhenti melancarkan serangan. Ia datang menghampiri Ismail dan Ibrahim, berupaya meruntuhkan kemantapan mereka dalam menunaikan perintah Tuhan. Hingga ia putus asa karena tidak ada satu pun dari mereka yang termakan tipu dayanya. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Ibnu Katsir (774 H) dalam tafsirnya.
Namun, rasanya mustahil bagi kita untuk meneladani kekokohan iman mereka dalam menjalankan perintah Tuhan, mengingat mereka merupakan hamba pilihan-Nya yang diamanahkan risalah kenabian. Sehingga, kepatuhan Ibrahim yang rela mengorbankan anaknya dan kesabaran Ismail yang pasrah menyerahkan nyawanya merupakan bentuk lain dari mukjizat mereka sebagai seorang utusan Tuhan. Siapa yang serela Ibrahim menyembelih buah hati dengan tangannya sendiri? Siapa yang sesabar Ismail ketika dihadapkan pada kematian yang mengerikan? Tentu tidak ada.
Oleh sebab itu, bijak sekali jika menemukan kisah teladan para nabi, kita tidak hanya menyimaknya dari sudut pandang kenabian. Jangan lupa, bahwa mereka—selain menjadi perantara firman Tuhan—juga memerankan peran lainnya sebagai manusia biasa, seperti anak, suami, ayah, sahabat, dan peran lainnya. Lewat perspektif ini, kita akan lebih mudah meneladani akhlak luhur mereka yang mungkin pada saat ini sesuai dengan peranan yang sedang kita lakoni, dan hal itu tidak mustahil.
Dalam hal ini, Ibrahim dan Ismail merupakan teladan terbaik sebagai pasangan ayah dan anak. Keteladanan mereka tersirat dalam ayat Al-Qur’an yang mengabadikan peristiwa pilu itu, Surat Ash-Shaffat ayat 102:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
(الصافات: ١٠٢)
“Ketika anak itu sampai (pada umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Lalu, apa saja teladan mereka yang tidak mustahil kita lakukan dalam menjalankan peran kehidupan?
1. Komunikasi yang Baik
Selazimnya, komunikasi terjalin baik antarsesama, terlebih antaranggota keluarga. Selain untuk mempererat hubungan, hangatnya komunikasi mampu meredam permusuhan yang dapat ditimbulkan dari kesalahpahaman tentang sebuah perkara. Komunikasi lebih dari sekadar tegur sapa atau bertukar kabar. Dalam pelaksanaannya, ia juga membutuhkan diksi yang tepat serta intonasi yang sesuai.
Membiasakan hal ini sedikit lebih sulit bagi sebagian orang yang terbiasa berbicara tanpa memilih kata dan bersuara lantang. Efek positif yang muncul dari kebiasaan berkomunikasi dengan gaya bahasa yang ramah dan tutur kata yang sopan adalah tidak mudah tersulut amarah saat ada masalah dalam sebuah hubungan. Justru, upaya membangun komunikasi yang santun ampuh meredakan hati yang dipenuhi emosi.
Bisa kita bayangkan bagaimana keadaan seseorang yang sehari-hari berkomunikasi dengan istilah-istilah kasar ketika ia sedang marah? Pada saat itu, biasanya seseorang akan sulit mengendalikan dirinya dari mencela, mengumpat, atau mencaci lawan bicaranya. Memiliki kebiasaan menggunakan kata-kata yang baik dalam mengungkapkan perasaan akan menahan kita dari berkata-kata yang tidak perlu.
Dalam kisahnya, Ibrahim dan Ismail telah lebih dulu mencontohkan bagaimana membangun komunikasi yang baik antara ayah dan anak. Lihatlah bagaimana Ibrahim memulai percakapan dengan menyapa anaknya menggunakan panggilan kesayangan: “Ya Bunayya” (Wahai anakku tersayang). Kata “Bunayya” dalam kaidah bahasa Arab merupakan bentuk tashghir dari kata “Ibnu” (anak) yang salah satu fungsinya digunakan untuk panggilan kesayangan.
Hal ini bukan saja dicontohkan oleh Ibrahim, namun juga Allah SWT tunjukkan pada kisah lainnya yang diperankan oleh para nabi, kekasih pilihan-Nya. Seperti kisah Nabi Nuh dalam Surat Hud ayat 42 yang memanggil anaknya untuk menaiki bahtera, kisah Nabi Ya’qub saat memanggil Yusuf untuk melarangnya menceritakan mimpinya kepada saudaranya dalam Surat Yusuf ayat 5, atau kisah Luqman yang sedang menasihati anaknya dalam Surat Luqman ayat 13.
Pengulangan kisah yang sama merupakan bentuk penegasan dari Allah secara tersirat bahwa penting sekali merajut komunikasi yang baik antara ayah dan anak, dan hal itu dimulai dari penggunaan kata yang mencerminkan kasih sayang.
Namun, pada kenyataannya yang terjadi di tengah kita saat ini sangat bertolak belakang dengan metode yang disuguhkan Al-Qur’an dalam praktik seni komunikasi. Masih banyak ditemukan orang tua yang seenaknya memanggil anaknya dengan panggilan-panggilan buruk. Di luar niat mereka melakukan hal tersebut, tetap tidak dibenarkan walaupun hanya sekadar gurauan. Sebab, memanggil seseorang dengan sebutan yang tidak disukai merupakan hal tercela dalam Islam.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Hujurat ayat 11:
وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ
“Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.”
Padahal, ketika orang tua mulai membiasakan komunikasi yang baik kepada anak, secara tidak langsung ia sedang memberikan pendidikan penting dan menanamkan nilai luhur pada diri anaknya. Karena pendidikan karakter diawali dengan teladan nyata yang dilakoni oleh orang tua di rumah. Dari sanalah akhlak terpuji terbentuk.
Kerusakan moral yang terjadi merupakan buah dari hilangnya sosok panutan di rumah. Sehingga yang dianut dan ditiru oleh anak bukan lagi orang tuanya yang sibuk dengan urusan pribadi, melainkan tokoh antah-berantah dengan hal negatif yang mereka tonton dalam gawai yang difasilitasi oleh ayah-ibunya. Sehingga, lambat laun, sedikit-banyak tanpa sadar hal negatif tersebut menuntun mereka pada apa yang hari ini kita saksikan.
Ismail merupakan produk terbaik dari pendidikan Ibrahim. Beliau membuktikan bahwa nilai-nilai positif yang ditanamkan sejak dini akan melekat pada jati diri seorang anak, bahkan hingga ia beranjak dewasa. Hal ini ditunjukkan oleh Allah SWT di awal ayat 102 Surat Ash-Shaffat. Bahwa saat hendak disembelih, Ismail menginjak masa remaja berusia 13 tahun, seperti yang dikatakan oleh Al-Qurthubi (671 H) dari Al-Farra’ (207 H).
2. Musyawarah untuk Mufakat
Al-Qur’an seolah menyinggung para ayah yang cenderung memiliki kuantitas rendah dalam berkomunikasi dengan anak. Lewat kisah indah yang terjalin antara anak dan ayah, Al-Qur’an mengisyaratkan kepada umat Islam yang berperan sebagai ayah agar turut serta dalam pembentukan dan pendidikan karakter anaknya. Sehingga, kewajiban mencari nafkah tidak dijadikan alasan untuk menutup mata dan telinga dari proses tumbuh kembang sang anak. Sebab, keduanya merupakan kewajiban yang tidak gugur hanya dengan melaksanakan salah satunya.
Di antara faktor rendahnya kuantitas komunikasi antara anak dan ayah adalah tidak adanya titik temu dalam topik pembicaraan yang disebabkan oleh selisih umur yang jauh. Sehingga, banyak sosok ayah yang enggan berbincang hangat dengan anak karena dianggap tidak sepadan untuk dijadikan teman diskusi.
Tentu yang keliru dalam hubungan semacam ini adalah ayah. Karena seharusnya ia mampu menyesuaikan tema obrolan yang mempertemukan mereka dalam dialog ringan, seperti seputar kegiatan anak di sekolah, pergaulannya, dan hal lainnya yang mendudukkan mereka pada sepiring roti dan secangkir susu.
Bahkan dalam Al-Qur’an, anak bukan hanya sebatas diajak bercengkrama. Al-Qur’an mengisahkan bahwa sosok anak semestinya dibiasakan untuk diikutsertakan dalam diskusi keluarga untuk mengambil sebuah keputusan. Terlebih jika keputusan tersebut menyangkut kehidupannya, seperti memilih tempat sekolah, menentukan jadwal kegiatan harian atau mingguan, dan yang lainnya.
Mari kita lihat bagaimana Nabi Ibrahim mengajarkan kita tentang hal ini. Setelah memanggil Ismail dengan panggilan kesayangan, beliau bercerita kepadanya bahwa suatu malam ia bermimpi menyembelihnya. Sebelum melanjutkan kisahnya, perlu diketahui bersama bahwa mimpi seorang nabi adalah salah satu bentuk wahyu, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah ﷺ dalam haditsnya dari Ibnu ‘Abbas (68 H). Artinya, mimpi beliau menyembelih anaknya adalah perintah dari Allah SWT.
Namun, perhatikan apa yang dilakukan oleh Ibrahim ketika mendapatkan perintah yang bersangkutan dengan Ismail. Beliau tidak serta-merta menarik dan mengikat Ismail untuk menyembelihnya. Beliau malah bertanya tentang bagaimana pendapatnya terhadap perintah Allah SWT yang menyayat hati ini.
Ini pelajaran yang besar sekali untuk para orang tua dalam mengambil keputusan yang bersangkutan dengan kehidupan anak. Ibrahim saja masih bermusyawarah meminta pendapat anaknya terhadap perkara wahyu yang wajib ia laksanakan dan tidak perlu didiskusikan. Terlebih kita yang tidak menjumpai Jibril mendengarkan wahyu.
Pertimbangan orang tua selaku manusia biasa tidak terlepas dari khilaf dan salah. Bisa jadi yang dianggap terbaik untuk anak malah sebaliknya. Karena itu, Al-Qur’an mengajarkan bahwa alangkah lebih baik menentukan arah masa depan anak dengan berdiskusi kepadanya. Dengarkan apa keinginannya dan bagaimana pendapatnya. Dari sana akan terbangun chemistry yang kuat antaranggota keluarga—hubungan yang saling memahami dan mengerti potensi serta kebutuhan tiap-tiap individu di dalamnya.
“Pikirkanlah apa pendapatmu?” Begitu tanya Ibrahim kepada Ismail.
Salah satu tanda kesempurnaan Al-Qur’an sebagai ajaran adalah bersifat ekstensif. Dalam menunjukkan, Al-Qur’an bukan saja menuntun kelompok tertentu tanpa menyertakan yang lain. Semua peranan telah dihamparkan jalannya dengan jelas.
Dalam hal ini, kisah Ibrahim dan Ismail tidak hanya membimbing bagaimana seharusnya seorang ayah bersikap kepada anak, namun juga disempurnakan dengan teladan yang diajarkan oleh Nabi Ismail tentang adab seorang anak kepada ayahnya.
Lihatlah bagaimana Ismail menjawab pertanyaan sang ayah yang meminta pendapatnya. Ismail pada saat itu bukan lagi anak kecil yang tidak tahu bahaya. Ia berada pada usia tamyiz, saat di mana seorang anak mampu membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya baginya. Kalau saja kita yang berada pada posisi Ismail saat itu, niscaya kita akan lari terbirit-birit sebelum sempat menjawabnya.
Namun, kecerdasan Ismail tidak menghalangi beliau untuk tetap patuh dan tunduk dalam ketaatan mutlak terhadap perintah Allah SWT dan ayahnya, Ibrahim. Justru, pengetahuannya akan kebenaran menuntunnya untuk semakin dekat kepada kebenaran hakiki. Dengan dorongan sabar dan keyakinan yang kuat, mereka berdua sama-sama pasrah mengejawantahkan titah Sang Kuasa.
“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Benih kelembutan yang dipupuk Ibrahim pada hati seorang Ismail berbuah manis saat anaknya membalas panggilan “Ya Bunayya” (Wahai anakku tersayang) dengan “Ya Abati” (Wahai ayahku tersayang), bersamaan dengan penerimaan yang lapang dan meyakinkan sang ayah untuk tidak ragu melaksanakan perintah, bahwa anaknya merupakan hamba yang sabar.
Sejarah singkat ini menonjolkan pentingnya mengedepankan musyawarah antar pihak sebelum mengambil keputusan. Musyawarah menjadi lambang penghargaan bagi hak masing-masing individu, bahkan dalam hubungan ayah dan anak.
Refleksi
Sebagai pemanis, mari bersama kita renungkan tentang peran yang sedang kita jalankan:
- Sudahkah kita menjadi ayah yang mendengar?
- Sudahkah kita menjadi anak yang melihat?
- Atau selama ini hanya menjadi ayah yang melihat keadaan anak secara sepihak tanpa mau mendengar apa yang dirasa?
- Atau anak yang hanya menuntut tanpa melihat kemampuan ayahnya?
Contohlah Ibrahim yang memulai percakapan dengan panggilan sayang dan mendengarkan perasaan. Melembutkan sikap lewat tutur kata yang baik dan tidak menghardik. Mendidik anak untuk turut bertanggung jawab dalam berpikir, berucap, dan bertindak. Tidak tirani dan suka memaksakan kehendak.
Ikutilah Ismail yang tumbuh dalam pola asuh yang sempurna. Tidak hanya cerdik, namun juga bijak. Ia melihat posisi ayahnya yang juga seorang nabi—utusan Tuhan yang dituntut untuk mutlak menjalankan perintah. Fana dalam kehendak ayahnya serta meyakininya sebagai kebaikan yang tidak ia ketahui bentuknya.
Begitulah seharusnya seorang ayah dan anak. Ayah menawarkan dan memberikan pertimbangan. Biarkan anak memilih sesuai keinginan hatinya dengan penuh tanggung jawab dan keyakinan bahwa pilihan ayahnya merupakan yang terbaik untuk hidupnya, selama di dalamnya terdapat doa dan ridhonya.