Amanah: Anugerah atau Musibah?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita berangkat dari firman Allah SWT pada akhir surat al-Ahzab ketika Dia berfirman:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا (الأحزاب: ٧٢)

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.” (al-Ahzab: 72)

Ayat ini mengabarkan tentang keberanian manusia yang mengambil tawaran Tuhan berupa amanah. Pada saat tujuh lapis langit, hamparan bumi, dan kekokohan gunung menolak tawaran tersebut, manusia yang kecil lagi lemah tak berdaya menyanggupi diri untuk memikul amanah yang tidak mampu dipikul oleh makhluk yang lebih besar darinya. Itulah mengapa pada akhir ayat manusia disifatkan dengan kezaliman dan kebodohan. Lalu, amanah seperti apa yang Allah tawarkan itu? Melalui pendekatan tafsir, kita akan membahasnya serta hal-hal yang terkait dengannya.

Apa itu Amanah?

Selain pada ayat di atas, lafaz ‘amanah’ dapat ditemukan dalam al-Qur’an pada 5 surat lainnya, yaitu al-Baqarah ayat 283, an-Nisa’ ayat 58, al-Anfal ayat 27, al-Mu’minun ayat 8, dan al-Ma’arij ayat 32. Al-Qurtubi (671 H) mengartikan lafaz amanah dalam surat al-Baqarah secara umum sebagai sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang. Lebih khusus, Ibnu Katsir (774 H) mengartikan kata amanah dalam surat al-Ahzab ayat 72 sebagai ketaatan, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Selain itu, beliau juga mengartikan amanah sebagai kewajiban yang Allah SWT perintahkan kepada hamba-Nya. Sehingga, makna amanah pada ayat 72 surat al-Ahzab adalah ketaatan atau kewajiban. Saat itu, Allah SWT menawarkan amanah ini lebih dulu kepada lapisan langit, bumi, dan pegunungan. Tidak ada satu pun dari mereka yang sanggup mengemban amanah ini. Padahal, Allah SWT menjanjikan surga kepada siapa yang bisa menunaikannya. Namun, mereka juga tidak berdaya saat Allah SWT mengancam siapa yang gagal menjalankannya. Hanya Adam yang tegap berdiri optimis menanggapi tawaran Allah SWT.

Amanah itu Musibah

Pada akhir ayat di atas, Allah SWT mencirikan manusia yang mengambil amanah dengan dua sifat tercela: zalim dan bodoh. Ath-Thabari (310 H) menjelaskan bahwa ayat ini merupakan peringatan bagi manusia yang mengambil amanah agar tidak zalim kepada dirinya sendiri dengan menyalahgunakan amanah dan tidak bodoh dengan menunaikan amanah tanpa kesungguhan. Sebab, yang akan menunggunya di akhirat adalah siksa saat secara sadar ia berani mengambil amanah namun tidak mampu mengembannya dengan potensi yang ia miliki untuk menunaikannya secara sempurna. Oleh karena itu, manusia semacam ini disifati zalim kepada dirinya sendiri dan terlalu bodoh untuk memahami risiko yang tersirat dalam sebuah amanat. Jika dilihat dari sudut pandang ini, amanah menjadi musibah. Seseorang yang dengan senang hati menadahkan tangan menanggung amanah tanpa berpikir panjang terhadap kesulitan yang akan ia hadapi saat menjalankan amanah. Orang semacam ini seperti orang yang sedang menggali kuburnya sendiri tanpa ia sadari.

Amanah juga Anugerah

Layaknya pisau, ia berpotensi melukai orang yang sembarangan memegangnya. Namun, manfaatnya sangat besar jika digunakan dengan tepat. Begitu pun amanah. Ia bisa menjadi akses khusus bagi yang mengembannya, memberikan wewenang dan kekuatan untuk mengendalikan. Memang, pada umumnya pemangku amanah itu bersifat zalim dan bodoh, seperti yang dipaparkan di atas. Namun, mari kita lihat bagaimana Allah SWT mengakhiri surat al-Ahzab:

لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (الأحزاب: ٧٣)

“Dengan demikian, Allah akan mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan serta orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan. Allah akan menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Ahzab: 73)

Ath-Thabari menuturkan bahwa pada ayat ini, Allah SWT memperjelas ancaman-Nya bagi yang mengkhianati amanah dan menyalahgunakan wewenang. Mereka adalah orang munafik dan musyrik. Itulah mengapa kita tidak dianjurkan memberikan amanah kepada orang musyrik maupun munafik. Sebab, mereka tidak akan menunaikan amanah tersebut sebagaimana mestinya. Bagaimana bisa? Sedangkan mereka berbohong jika berbicara, gemar mengingkari janji, dan biasa mengkhianati amanah. Sehingga dengan itu, Allah SWT janjikan azab bagi mereka. Berbeda keadaannya bagi orang beriman yang mengemban amanah. Keimanan akan menuntun mereka pada kewajiban terhadap amanah yang saat ini dipikul. Meski dengan keterbatasan dan kekurangan, sedikit pun tidak melalaikan langkahnya untuk tetap menjaga amanah dengan kemampuan yang ada. Bukan tanpa kekurangan, justru kekhilafan dan kelalaian yang ada saat tengah menjalani amanah dimuarakan oleh Allah SWT pada ampunan-Nya yang melimpah. Begitulah bagaimana amanah bisa menjadi anugerah.

Bolehkah Menadah Amanah?

Setelah mengetahui bahwa amanah dapat menjelma sebagai anugerah atau musibah, seharusnya kita tahu hal apa yang menentukan amanah bisa bernilai positif atau negatif. Kalau kita perhatikan karakteristik manusia zalim dan bodoh yang mengambil tawaran amanah Tuhan ini, kita akan menyimpulkan bahwa tawaran amanah tidak seharusnya diterima apalagi ditadah. Namun, benarkah demikian? Fakta sejarah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf pernah mengajukan diri untuk diamanahi sebagai bendahara Mesir kala itu. Hal ini dinarasikan oleh surat Yusuf ayat 55:

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (يوسف: ٥٥)

“Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku pengelola perbendaharaan negeri (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) lagi sangat berpengetahuan.’”

Jika merujuk pada teladan Nabi Yusuf ‘alaihissalam, maka mengajukan diri sebagai pengemban amanah boleh saja. Hanya saja, Nabi Yusuf ketika mengambil amanah itu menjamin 2 sifat terpuji sebagai modal: Hafiz (Penjaga) yang menjaga amanah yang dititipkan dan ‘Alim (Berpengetahuan) mengetahui risiko dari amanah yang dipangku. Seolah 2 sifat yang dipromosikan oleh Yusuf menjadi syarat bagi siapa saja yang hendak menanggung sebuah amanah. 2 sifat terpuji ini juga sekaligus menjadi penawar bagi 2 sifat tercela yang lebih dulu Allah sebutkan bagi orang yang lancang merengkuh amanah pada surat al-Ahzab ayat 72. Sifat Hafiz menjadi penangkal yang mencegah kezaliman yang berpotensi menggerogoti niat pemegang amanah. Kisah teladan Nabi Yusuf menjadi jawaban dan tolak ukur kapan amanah menjadi musibah, kapan ia adalah anugerah. Nabi Yusuf menggariskan bahwa amanah yang diupayakan untuk selalu dijaga dan ditunaikan akan menjelma menjadi anugerah dengan kemuliaan di dalamnya. Lihatlah bagaimana Yusuf yang sebelumnya tersungkur dalam kegelapan sumur, saat sifat Hafiz mendorongnya untuk mengambil amanah besar yang mengangkatnya ke atas singgasana raja. Begitu pun sifat ‘Alim yang menuntut seseorang untuk mengetahui lebih dulu tentang risiko yang ada pada amanah dan kapasitas dirinya sebelum kemudian membulatkan tekad mengambilnya agar tidak disebut sebagai Jahul (orang bodoh).

Pada 10 Juni 2025 lalu, Yayasan Pendidikan Dza ‘Izza melantik pengurus manajemen inti masa khidmat 2025-2026. Prosesi pelantikan berjalan penuh haru. Tangis pilu tak terbendung saat Ketua Yayasan, K.H. Zahid Purna Wibawa, S.T., Ibu Nyai Hj. Lilis Hafidzoh, S.K.M., serta jajaran Majelis Khidmat dan Wakil Mudir turun menyalami para peserta terlantik. Suka-duka bersatu padu membuat kelopak mata dilema antara menangis bahagia atau meringis takut tertimpa amanah. Tradisi pondok pesantren dalam pendidikan kepemimpinan memiliki falsafah sakti yang kerap digumamkan pada saat prosesi pelantikan pengurus yayasan berlangsung: “Tidak ada kata tidak siap. Siap dipimpin dan siap memimpin.” Dalam pemilihan kandidat, Pak Kiai memiliki ijtihad sendiri untuk menentukan siapa menempati bagian apa. Sehingga, tak ada satu pun yang memiliki kesempatan untuk mempromosikan dirinya untuk menjabat posisi tertentu seperti halnya lembaga pendidikan lainnya. Namun, bukan tanpa alasan dan landasan. Beliau sudah lebih dulu mempertimbangkannya matang-matang atas segala risiko yang akan dihadapi. Budaya seperti ini sarat akan nilai-nilai luhur yang diisyaratkan pada pendahuluan di atas tentang adab dan ilmu menerima amanah. Semoga para kandidat terpilih dimampukan dalam mengemban amanah dengan Hafiz dan ‘Alim agar tidak termasuk golongan orang-orang yang Zalum dan Jahul.